MAKALAH
MAKNA DAN POSISI SERTA URGENSI BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PRAKTEK
PENDIDIKAN
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
dalam Mata Kuliah Bimbingan dan Koseling ( KD302)
Dosen pengampu:
1.
Dr.
Nani M. Sugandhi, M.Pd.
2.
Hendri
Rismayadi, S.Pd.
Disusun oleh:
Dessy Meylinda (1200361)
Jeffa Lianto V. B. (1204833)
Ngadiyono (1204829)
Yuyun Desfrita Azura (1206652)
DEPARTEMEN
PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS
PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2015
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2015
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun ungkapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu
tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Bimbingan dan Konseling (KD302).
Makalah ini berjudul “Makna dan Posisi serta Urgensi
Bimbingan dan Konseling dalam Praktek Pendidikan”. Dengan
tujuan, agar mengetahui makna dan posisi serta urgensi Bimbingan dan Konseling
dalam praktek pendidikan.
Penulis berharap makalah ini dapat
menjadi jalan manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi para pembaca yang ingin
mengetahui tentang makna dan posisi Bimbingan dan Konseling dalam pendidikan
pada umumnya.
Ada pepatah mengatakan “Tiada gading yang tak retak”, mungkin makalah ini masih jauh dari sempurna,
maka kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah
yang lebih baik.
Bandung, 24 Februari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
..........................................................................................
i
DAFTAR ISI
........................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
...........................................................................................
1
1.2 Rumusan
Masalah
.......................................................................................2
1.3 Tujuan
Penulisan..........................................................................................2
BAB
II KESULITAN SISWA DALAM MEMAHAMI MATERI DIMENSI TIGA PADA PEMBELAJARAN
MATEMATIKA SMA
2.1 Pengertian
Bimbingan dan Konseling..........................................................3
2.2 Kondisi
Bimbingan dan Konseling Di Sekolah............................................5
2.3 Landasan
Psikologis Bimbingan dan Konseling………..............................7
2.4 Landasan
Sosiologis (Sosial-Budaya) Bimbingan dan Konseling …….....19
2.5 Landasan
Pedagogis Bimbingan dan Konseling…………………………..24
2.6 Landasan
Agama Bimbingan dan Konseling……………………………...26
2.7 Landasan
Perkembangan IPTEK Bimbingan dan Konseling……………..30
2.8 Sejarah
Perkembangan Bimbingan dan Konseling………………………..32
2.9 Perkembangan
Bimbingan dan Konseling Di Indonesia………………….34
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................................38
3.2 Saran
........................
..................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini
terjadi berbagai fenomena peserta didik seperti tawuran, penyalahgunaan
obat-obatan terlarang dan psikotropika, perilaku seksual menyimpang,
kemerosotan moral, kegagalan dalam mencapai tujuan pembelajaran, dan lain
sebagainya. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang sangat
cepat juga menimbulkan sisi negatif dalam hal kehidupan sosial, budaya, dan lain
sebagainya yang berpengaruh dalam lingkungan peserta didik. Hal inilah yang mengakibatkan layanan
bimbingan dan konseling sangat dibutuhkan, selain karena banyaknya masalah
peserta didik tersebut, besarnya kebutuhan peserta didik akan pengarahan diri
dalam memilih dan mengambil keputusan, perlunya aturan yang memayungi layanan
bimbingan dan konseling, serta perbaikan tata kerja baik dalam aspek ketenagaan
maupun manajemen juga menjadi alasan dibutuhkannya layanan bimbingan dan
konseling.
Dalam praktek
pendidikan, pada awalnya bimbingan dan konseling hanya dipandang sebagai
layanan untuk mengatasi peserta didik yang bermasalah saja, seperti masalah
pribadi, masalah yang menyangkut pembelajaran, masalah pendidikan, dan
sebagainya. Namun pada dasarnya layanan bimbingan dan konseling diharapkan
membantu peserta didik dalam pengenalan diri, pengenalan lingkungan dan
pengambilan keputusan, serta memberikan arahan terhadap perkembangannya. Dengan
demikian layanan bimbingan dan konseling tidak hanya untuk peserta didik yang
bermasalah saja melainkan untuk seluruh peserta didik.
Dalam makalah
ini akan dibahas secara lebih jelas tentang makna dan posisi serta
urgensi bimbingan dan konseling dalam pendidikan. Dalam hal ini akan lebih
mengerucut pada bahasan mengenai pengertian bimbingan dan konseling itu
sendiri, kondisi bimbingan dan konseling di sekolah, dan landasan-landasan
dalam bimbingan dan konseling serta sejarah perkembangan bimbingan dan
konseling.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Bimbingan dan Konseling
Bimbingan
berasal dari kata to guide kemudian
menjadi guidance yang mempunyai arti menunjukkan,
membimbing, menuntun, ataupun membantu. Yang mana
bimbingan di sini diberikan kepada orang atau sekelompok orang yang mengalami maladjusmen, yaitu kegoncangan pribadi,
konflik batin, salah aturan, stress dan lain-lain.
Years’s Book of Education 1995 menyatakan bimbingan adalah
suatu proses membantu individu melalui usahanya sendiri untuk menemukan dan
mengembangkan kemampuannya agar memperoleh kebahagiaan pribadi dan kemamfaatan social.
Stoops dan Walquist menyatakan bimbingan adalah proses yang
terus-menerus dalam membantu perkembangan individu untuk mencapai kemampuannya
secara maksimum dalam mengarahkan manfaat yang sebesar-besarnya baik bagi
dirinya maupun bagi masyarakat.
Arthur J. Jones yang dikutip DR. Tohari Musnamar (1985: 4)
menyatakan bimbingan sebagai pertolongan yang diberikan oleh seseorang kepada
orang lain dalam hal membuat pilihan-pilihan, penyesuaian diri dan pemecahan
problem-problem yang bertujuan membantu orang tersebut untuk tumbuh dalam hal
kemandirian dan kemampuan bertanggung jawab bagi dirinya sendiri.
Djumhur dan Moh. Surya(1975: 15) berpendapat bahwa bimbingan
adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada
individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan
untuk dapat memahami dirinya (self understanding),
kemampuan untuk menerima dirinya (self
acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self
realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian
diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang
Pendidikan Menengah dikemukakan bahwa “Bimbingan merupakan bantuan yang
diberikan kepada peserta didik dalam rangka menemukan pribadi, mengenal
lingkungan, dan merencanakan masa depan”.
Lebih lanjut untuk memudahkan ingatan kita tentang
pengertian umum bimbingan, Prayitno (2004) (Sukardi, 2008: 2) mengemukakan
akronim sebagai unsur-unsur pokok dalam sebuah proses bimbingan, yaitu:
B =
bantuan
I =
individu
M =
mandiri
B =
bahan
I =
interaksi
N =
nasihat
G =
gagasan
A =
alat dan asuhan
N =
norma
Dengan memasukkan semua unsur di atas dapat dikatakan
bahwa bimbingan dan konseling merupakan bantuan yang diberikan kepada individu
atau kelompok agar mereka dapat mandiri melalui berbagai bahan, interaksi,
nasihat, gagasan, alat, dan asuhan yang didasarkan atas norma-norma yang
berlaku.
Sedangkan konseling
diambil dari bahasa Inggris counseling
dulu diterjemahkan dengan penyuluhan (bersifat umum), sekarang diartikan
konseling itu sendiri (bersifat spesifik mengenai kejiwaan). Pelayanan
konseling merupakan jantung hati dari usaha layanan bimbingan secara
keseluruhan (counseling is the heart of guidance program). Konseling adalah
bantuan pertolongan, tuntunan yang di berikan kepada seseorang untuk mengatasi
kesulitan atau masalah secara langsung berhadapan muka atau face to face relation untuk mencapai
kesejahteraan hidup.
Rogers (1942) menyatakan konseling adalah serangkai hubungan
langsung dengan individu yang bertujuan untuk membantu dia dalam merubah sikap
dan tingkah lakunya.
Sedangkan konseling menurut Prayitno dan Erman Amti (2004: 105)
adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh
seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu
masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi
klien.
Sejalan dengan itu, Winkel (2005:34) mendefinisikan
konseling sebagai serangkaian kegiatan paling pokok dari bimbingan dalam usaha
membantu konseli/klien secara tatap muka dengan tujuan agar klien dapat
mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah
khusus.
Untuk memudahkan ingatan kita tentang pengertian umum
konseling maka Prayitno (2004) (Sukardi, 2008: 5) mengemukakan akronim dari
unsur-unsur pokok yang ada dalam usaha konseling, yaitu;
K =
kontak
O =
orang
N =
menangani
S =
masalah
E = expert (ahli)
L =
laras
I =
integrasi
N =
norma
G =
guna
Dengan demikian,
pengertian konseling adalah kontak antara dua orang (yaitu konselor dan
konseli) untuk menangani masalah konseli, dalam suasana keahlian yang laras dan
terintegrasi, berdasarkan norma-norma yang berlaku, untuk tujuan-tujuan yang
berguna bagi konseli.
2.2
Kondisi Bimbingan dan
Konseling di Sekolah
Berbicara tentang
pendidikan nasional atau sekolah di negara ini, yang sering menjadi sorotan
adalah masalah nilai atau kemampuan kognitif peserta didik, bangunan sekolah, dan
kesejahteraan guru. Jarang sekali isu kepribadian peserta didik yang dijadikan sorotan,
apalagi peran guru Bimbingan dan Konseling atau konselor sekolah dalam
pembentukan pribadi peserta didik.
Bimbingan
Konseling (BK) seolah menjadi topik yang tidak menarik untuk
dibicarakan. Padahal, jika kita merujuk ke negara yang pendidikannya maju,
seperti Amerika Serikat, Singapura, bahkan Malaysia, peran guru BK sangat
diperhatikan. Sedangkan di Indonesia isu tentang BK menjadi isu yang belum
terlalu menjadi sorotan, kalaupun ada, namun bukanlah menjadi sorotan nasional
tetapi hanya sekedar sorotan lingkup daerah saja. Gerakan yang terlihat malah
dari daerah, bahkan dari sekolah-sekolah. Isu BK seperti ini mengakibatkan sekolah-sekolah tidak
memiliki paradigma yang tunggal terhadap BK.
Ada beberapa
paradigma yang berkaitan dengan BK di sekolah:
1.
Sekolah yang sadar
betul pentingnya BK untuk membangun karakter peserta didik. Kesadaran ini
mendorong sekolah ini menata sistem penyelenggaraan BK menjadi salah satu
elemen penting sekolah. Untuk membangun sistem tersebut mereka melakukan studi
banding, membangun fasilitas BK, memberikan waktu masuk kelas untuk guru BK,
melibatkan tenaga BK dalam seluruh proses perkembangan peserta didik,
menempatkan BK sebagai rekan guru bukan hanya sebagai pelengkap, mengirim
guru-guru BK mengikuti seminar.
2.
Sekolah yang sadar
akan kedudukan BK dalam pembentukan pribadi peserta didik, tetapi tidak
didukung oleh materi, tenaga dan yayasan atau pemerintah. Keberadaan BK di
sekolah ini antara ada dan tiada, hidup segan mati tak mau. Di sekolah kategori
ini semua konsep BK hanya tinggal dalam angan-angan. Untuk membangun manajemen
BK di sekolah ini butuh tenaga ekstra. Pendekatan yang dilakukanpun harus
bervariasi. Ada pendekatan pragmatis, ada pendekatan struktural.
3.
Sekolah yang masih
menerapkan manajemen BK “jadul”. Guru BK masih dianggap sebagai polisi sekolah, hanya
menangani orang yang bermasalah. Sekolah ini cenderung tidak terbuka terhadap
perkembangan ilmu BK dan tidak melihat fungsi BK dalam pembentukan pribadi
siswa. Guru BK masih ditempatkan sebagai pelengkap dalam proses pendidikan
anak, bukan sebagai rekan tenaga pengajar. Bahkan ironisnya, yang menjadi guru
BK bukan lulusan Bimbingan dan Konseling.
4.
Sekolah yang belum
memiliki manajemen BK. Penyebabnya bisa karena belum ada tenaga, atau tidak ada
yang tahu sehingga tidak ada yang memulai, atau bisa juga karena masalah
finansial, atau menganggap tidak perlu.
2.3 Landasan Psikologis Bimbingan dan Konseling
Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat
memberikan pemahaman bagi konselor tentang perilaku individu yang menjadi
sasaran layanan (klien). Untuk kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa
kajian psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah tentang: (1) motif
dan motivasi; (2) konflik dan frustasi; (3) sikap; pembawaan dan lingkungan,
(3) perkembangan individu; (4 belajar; dan (5) kepribadian.
1. Motif dan Motivasi
Motif dan motivasi berkenaan dengan dorongan yang
menggerakkan seseorang berperilaku baik motif primer yaitu motif yang didasari
oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh individu semenjak dia lahir, seperti:
rasa lapar, bernafas dan sejenisnya maupun motif sekunder yang terbentuk dari
hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh pengetahuan atau keterampilan
tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut tersebut diaktifkan
dan digerakkan,baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik) maupun dari
luar individu (motivasi ekstrinsik), menjadi bentuk perilaku instrumental atau
aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.
J.P. Chaplin (Yusuf, 2009: 158) mengemukakan bahwa motif
merupakan kekuatan dalam diri individu yang mampu melahirkan, memelihara dan
mengarahkan perilaku terhadap suatu tujuan.
Abin Syamsudin Makmun mengartikan motif sebagai suatu
keadaan yang kompleks (a complex state)
dalam diri individu untuk bergerak (to move)
ke arah tujuan tertentu, baik disadari maupun tidak disadari.
2. Konflik dan Frustasi
Dalam kehidupan sehari-hari,
seringkali individu menghadapi beberapa macam motif yang saling bertentangan
satu sama lain. Dengan demikian individu tersebut berada dalam keadaan konflik
psikis, yaitu suatu pertentangan batin, suatu kebimbangan, suatu keragu-raguan
untuk memutuskan motif mana yang akan diambil. Motif-motif yang dihadapi
individu itu kadang positif, kadang negatif atau kadang campuran keduanya. Oleh
karena itu konflik yang dialami oleh individu menurut Syamsu Yusuf (2009: 165)
dibedakan menjadi tiga jenis yaitu;
1. konflik mendekat-mendekat, yaitu
kondisi psikis yang dialami individu yang disebabkan dua motif positif yang
sama kuat. Motif positif ini maksudnya adalah motif yang disenangi atau
diinginkan oleh individu tersebut.
2. Konflik menjauh-menjauh, yaitu kondisi
psikis yang dialami individu yang disebabkan dua motif negatif yang sama kuat.
Motif negatif adalah motif yang tidak disenangi oleh individu.
3. Konflik mendekat-menjauh, yaitu
kondisi psikis yang dialami individu yang disebabkan oleh motif positif dan
negative yang sama kuat.
Di samping ketiga jenis konflik di atas, juga terdapat
konflik ganda (double approach-avoidance
conflict). Yaitu konflik psikis yang dialami individu dalam menghadapi dua
situasi atau lebih yang masing-masing mengandung motif positif dan negative
sekaligus dan sama kuat.
Menurut Syamsu Yusuf (2009: 166) frustasi dapat diartikan
sebagai kekecewaan dalam diri individu yang disebabkan oleh tidak tercapainya
keinginan. Pengertian lain dari frustasi adalah perasaan kecewa yang mendalam
karena tujuan yang dikehendaki tidak kunjung terlaksana.
Sarlito Wirawan Sarwono (Yusuf, 2009: 166) mengelompokkan
frustasi berdasarkan sumbernya ke dalam tiga golongan yaitu;
1. Frustasi lingkungan, disebabkan oleh
rintangan yang berasal dari lingkungan.
2. Frustasi pribadi, timbul karena
ketidakmampuan individu untuk mencapai tujuan.
3. Frustasi konflik, disebabkan oleh
konflik dari berbagai motif dalam diri individu.
Reaksi individu terhadap frustasi yang dialaminya
berbeda-beda. Perbedaan reaksi tersebut dapat dilihat dari kegiatan yang
dilakukannya. Ada yang menghadapi dengan rasional, tetapi ada juga yang
reaksinya terlalu emosional. Adapun wujud dari cara-cara individu dalam
bereaksi terhadap frustasi yang dialaminya, diantaranya adalah sebagai berikut;
1. Agresi marah
2. Bertindak secara eksplosif
3. Dengan cara introversi
4. Perasaan tak berdaya
5. Kemunduran
6. Fiksasi
7. Penekanan
8. Rasionalisasi
9. Proyeksi
10. Kompensasi
11. Sublimasi
3.
Sikap
Thurstone (Yusuf, 2009: 169) berpendapat bahwa sikap
merupakan suatu tingkatan afeksi, baik bersifat positif maupunnegatif dalam
hubungannya dengan objek-objek psikologis, seperti: simbul, prase, slogan,
orang, lembaga, cita-cita dan gagasan.
Sarlito Wirawan Sarwono (Yusuf, 2009: 169) mengemukakan,
bahwa “sikap adalah kesiapan seseorang bertindak terhadap hal-hal tertentu”.
Unsur-unsur sikap menurut Syamsu Yusuf(2009: 170)
meliputi;
1. Unsur kognisi
2. Unsur afeksi
3. Unsur kecenderungan bertindak
Sedangkan ciri-ciri sikap menurut
Sarlito (Yusuf, 2009: 170) meliputi;
a. Dalam sikap selalu terdapat hubungan
antara subjek-objek
b. Tidak ada sikap yang tanpa objek
c. Objek sikap dapat berupa benda, orang,
nilai-nilai, pandangan hidup, agama, hokum, lembaga masyarakat, dan sebagainya.
Menurut Sartain, dkk. (Yusif, 2009: 171) terdapat empat
faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap, yaitu sebagai berikut;
1. Faktor pengalaman khusus
2. Faktor komunikasi dengan orang lain
3. Faktor model
4. Faktor lembaga-lembaga sosial
4. Pembawaan dan
Lingkungan
Pembawaan dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor
yang membentuk dan mempengaruhi perilaku individu. Pembawaan yaitu segala
sesuatu yang dibawa sejak lahir dan merupakan hasil dari keturunan, yang
mencakup aspek psiko-fisik, seperti struktur otot, warna kulit, golongan darah,
bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri-kepribadian tertentu. Pembawaan pada dasarnya
bersifat potensial yang perlu dikembangkan dan untuk mengoptimalkan dan
mewujudkannya bergantung pada lingkungan dimana individu itu berada. Pembawaan
dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda. Ada individu yang memiliki
pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau bahkan rendah. Misalnya
dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius), normal atau bahkan sangat
kurang (debil, embisil atau ideot). Demikian pula dengan lingkungan, ada
individu yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif dengan sarana dan
prasarana yang memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya dapat
berkembang secara optimal. Namun ada pula individu yang hidup dan berada dalam
lingkungan yang kurang kondusif dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas
sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya tidak dapat berkembang dengan
baik.dan menjadi tersia-siakan.
5. Perkembangan Individu
Perkembangan individu berkenaan dengan proses tumbuh dan
berkembangnya individu yang merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga
akhir hayatnya, diantaranya meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan
kognitif/kecerdasan, moral dan sosial. Beberapa teori tentang perkembangan
individu yang dapat dijadikan sebagai rujukan, diantaranya : (1) Teori dari
McCandless tentang pentingnya dorongan biologis dan kultural dalam perkembangan
individu; (2) Teori dari Freud tentang dorongan seksual; (3) Teori dari
Erickson tentang perkembangan psiko-sosial; (4) Teori dari Piaget tentang
perkembangan kognitif; (5) teori dari Kohlberg tentang perkembangan moral; (6)
teori dari Zunker tentang perkembangan karier; (7) Teori dari Buhler tentang
perkembangan sosial; dan (8) Teori dari Havighurst tentang tugas-tugas
perkembangan individu semenjak masa bayi sampai dengan masa dewasa.
Menurut Syamsu Yusuf (2009: 172)
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan individu meliputi;
a. Hereditas atau keturunan
b. Lingkungan
c. Kelompok teman sebaya
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami
berbagai aspek perkembangan individu yang dilayaninya sekaligus dapat melihat
arah perkembangan individu itu di masa depan, serta keterkaitannya dengan
faktor pembawaan dan lingkungan.
6.
Masalah
Penyesuaian Diri Dan Kesehatan Mental
Kegiatan atau tingkah laku
individu pada hakikatnya merupakan cara pemenuhan kebutuhan. Banyak cara yang
dapat ditempuh untuk memenuhi kebutuhannya baik cara-cara yang wajar maupun
yang tidak wajar,dan sebagainya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan, individu harus
dapat menyesuaikan antar kebutuhan yang ada dalam lingkungannya, proses ini
disebut sebagai proses penyesuaian diri.
Proses penyesuaian diri
menimbulkan berbagai masalah terutama bagi diri sendiri. Jika individu berhasil
memenuhi kebutuhannya sesuai dengan lingkungannya dan tanpa menimbulkan
gangguan atau kerugian bagi lingkungannya, hal itu disebut”well
adjusted” atau penyesuaian dengan
baik. Dan sebaliknya jika individu gagal dalam proses penyesuaian diri tersebut
disebut “maladjusted” atau salah suai.
a. Penyesuaian Normal
Schneiders menjelaskan
cirri-ciri orang yang well adjusted atau penyesuaian dengan baik adalah orang
yang mampu merespon (kebutuhan dan masalah) secara matang, efisien, puas dan
sehat. Yang dimaksud dengan efisien adalah hasil yang dicapai tidak banyak
membuang enerji, waktu dan kekeliruan.
b. Penyesuaian Menyimpang
Penyesuaian diri yang
menyimpang atau tidak normal merupakan proses pemenuhan kebutuhan dengan
cara-cara yang tidak wajar atau bertentangan dengan norma yang dijunjung tinggi
oleh masyarakat. Penyesuaian menyimpang ini bisa dikatakan ssebagai tingkah
laku abnormal, terutama terkait dengan kriteria sosiopsikologis dan agama.
Penyesuaian yang menyimpang
ditandai dengan respon-respon berikut:
1) Reaksi bertahan
Organisme atau individu
dikepung oleh tuntutan-tuntutan dari dalam diri sendiri dan dari luar yang
terkadang mengancam rasa aman egonya. Untuk melindungi rasa aman egonya,
individu mereaksi dengan mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri
ini muncul dilatarbelakangi oleh dasar-dasar psikologis, seperti inferiority (perasaan rendah diri), inadequacy (perasaan tidak mampu), failure (perasaan gagal), dan guilt (perasaan bersalah).
2) Reaksi menyerang
Reaksi menyerang atau agresi
dapat diartikan sebagai sebuah bentuk respon untuk mereduksi ketegangan, dan
frustasi melalui media tingkah laku yang merusak, berkuasa, atau mendominasi.
Agresi ini terefleksi dalam
tingkah laku verbal dan nonverbal. Contoh yang verbal: berkata kasar,
bertengkar, panggilan nama yang jelek, jawaban yang kasar, perkataan yang
menyakitkan hati dan kritikkan tajam. Contoh yang nonverbal yaitu menolak atau
melanggar aturan, memberontak, berkelahi, mendominasi orang lain dan membunuh.
3) Reaksi melarikan diri dari
kenyataan
Reaksi “escape” dan “withdrawal” merupakan perlawanan
pertahanan diri individu terhadap tuntutan, desakan, atau ancaman dari
lingkungan dimana ia hidup.
Escape merefleksikan perasaan
jenuh, atau putus asa. Sementara withdrawal mengindifikasikan kecemasan, atau
ketakutan. Bentuk-bentuk reaksi escape dan withdrawal ini diantaranya:
berfantasi, melamun, banyak tidur, meminum minuman keras, bunuh diri, menjadi
pecandu ganja, narkotika, shabu-shabu atau ekstasi dan tegresi.
4) Reaksi penyesuaian yang patologis
Penyesuaian yang patologis ini
berarti bahwa individu yang mengalaminya perlu mendapat perawatan khusus, dan
bersifat klinis, bahkan perlu perawatan di rumah sakit. Penyesuaian yang
patologis adalah neurosis dan psikosis.
Jika individu gagal dalam
penyesuaian diri, maka ia akan sampai pada suatu situasi salah suai.
Gejala-gejala salah suai ini akan dimanifestasikan dalam bentuk tingkah laku
yang kurang wajar atau kelainan tingkah laku.
7.
Masalah
Belajar
Dalam seluruh proses
pendidikan, belajar merupakan kegiatan inti. Pendidikan sendiri itu dapat
diartikan sebagai bantuan perkembangan melalui kegiatan belajar. Secara
psiklogis belajar dapat diartikan sebagai proses memperoleh perubahan tingkah
laku (baik dalam kognitif, afektif, maupun psikomotor).
Dalam kegiatan belajar dapat
timbul berbagai masalah baik bagi pelajar itu sendiri maupun pengajar. Bagi
siswa sendiri, masalah-masalah belajar yang mungkin timbul misalnya pengaturan
waktu belajar, memilih cara belajar, mempergunakan buku-buku pelajaran, memilih
mata pelajaran yang cocok dan sebagainya.
a. Faktor Internal
Ada beberapa faktor yang harus
dipenuhinya agar belajarnya berhasil. Syarat-syarat itu meliputi fisik dan
psikis.Yang termasuk faktor fisik, diantaranya: nutrisi, kesehatan dan
keberfungsian fisik. Kekurangan nutrisi dapat mengakibatkan kelesuan, lekas
mengantuk, lekas lelah, dan kurang bias konsentrasi. Penyakit juga dapat
mempengaruhi keberhasilan belajar, apabila penyakit itu bersifat kronis atau
terus menerus dan mengganggu kenyamanan.
b. Faktor Eksternal
Faktor ini meliputi aspek-aspek
sosial dan nasional. Yang dimaksud faktor sosial adalah faktor manusia, baik
yang hadir secara langsung maupun kehadirannya secara tidak langsung, seperti:
berupa foto, TV, dan tape recorder. Sedangkan yang termasuk faktor nasional
adalah keadaan, suhu udara, waktu suasana lingkungan, keadaan tempat,
gedung, dan kelengkapan alat-alat belajar.
Layanan bantuan yang seharusnya
diberikan kepada para siswa adalah bimbingan belajar. Bimbingan belajar ini
meliputi beberapa kegiatan layanan baik yangbersifat preventif maupun
kuratif. Layanan yang bersifat preventif diantaranya dengan
pemberian layanan informasi sebagai berikut;
a. Sikap dan kebiasaan belajar
yang positif.
b. Cara membaca buku yang efektif.
c. Cara membuat catatan
pelajaran.
d. Cara mengikuti kegiatan
belajar.
e. Cara belajar kelompok.
f. Teknik menyusun laporan.
Adapun bimbingan belajar yang
bersifat kuratif adalah layanan bantuan bagi para siswa yang memiliki masalah
atau kesulitan belajar. Untuk membantu mereka maka dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut.
a. Mengidentifikasi kasus, dengan
cara: membandingkan nilai setiap siswa dengan nilai batas lulus kelompok,
menerima laporan dari setiap guru atau wali kelas tentang aktivitas belajar
setiap siswa yang diduga bermasalah dalam belajar.
b. Mengidentifikasi letaknya masalah, dengan cara melihat kawasan
tujuan belajar mana yang belum tercapai, dan melihat ruang lingkup atau bahan
ajar mana yang belum dikuasai.
c. Mengidentifikasi faktor-faktor
penyebab kesulitan belajar.
d. Prognosis, mengambil kesimpulan
dan keputusan serta meramalkan kemungkinan penyembuhannya.
e. Treatment, pemberian layanan bantuan sesuai dengan prognosis yang
telah dilakukan.
8.
Kecerdasan
Majemuk
Sejalan dengan ilmu pengetahuan
yang terus berkembang, konsep inteligensi pun mulai dipandang dengan kacamata
yang lebih luas.Pada tahun 1980-an seorang psikolog dari Harvard, yaitu Howard
Gardner (Yusuf, 2009:226) berpendapat bahwa manusia memiliki spectrum
intelektual yang kaya, yang ditujukan dalam suatu gambar kognisi yang jelas.
Menurut Gardner, inteligensi harus memiliki standar tertentu, yaitu kemampuan
untuk mengatasi masalah dalam kehidupan, kemampuan untuk menggeneralisir
Masalah baru untuk diatasi serta kemampuan untuk membuat atau menawarkan
pelayanan yang bernilai dalam suatu budaya.
Gardner mengemukakan bahwa
semua manusia memiliki delapan dasar inteligensi, yaitu inteligensi linguistik,
inteligensi logika matematika, inteligensi visual ruang, inteligensi
kinestetika tubuh, inteligensi musikal, inteligensi interpersonal, inteligensi
intra personal, dan inteligensi natural. Kedelapan inteligensi ini disebut
multiple intelligensi (inteligensi majemuk).
Howard Gardner sebagai pelopor
yang memperkenalkan konsep multiple intelligensi ini berpendapat bahwa
inteligensi seseorang tidak hanya memiliki kapasitas untuk belajar dan
menyelesaikan masalah, tetapi juga memiliki kapasitas menciptakan sesuatu dalam
konteks yang kaya serta menciptakan setting yang alamiah.
9.
Kecerdasan
Emosional
Pendapat lama menunjukkan bahwa
kualitas inteligensi, kecerdasan dalam ukuran intelektual atau tataran kognitif
yang tinggi dipandang sebagai factor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang
dalam belajar atau meraih kesuksesan dalam hodupnya. Namun baru-baru ini telah
berkembang pandangan lain yang mengatakan bahwa factor yang paling dominan
mempengaruhi keberhasilan (keberhasilan) hidup seseorang, bukan semata-mata
ditentukan oleh tingginya kecerdasan intelektual, tetapi oleh factor kemantapan
emosional, yang oleh ahlinya, yaitu Daniel Goleman disebut Emotional
Intelligence (Kecerdasan
Emosional).
Kecerdasan emosional ini
semakin perlu dipahami, dimiliki dan diperhatikan dalam pengembangannya,
mengingat kondisi kehidupan dewasa ini semakin kompleks. Kehidupan yang yang
semakin kompleks ini memberikan dampak yang sangat buruk terhadap konstelasi
kehidupan emosional seseorang.
Dalam hal ini, Daniel Goleman
mengemukakan hasil surveinya terhadap para orangtua dan guru, yang hasilnya
menunjukkan bahwa ada kecendrungan yang sama di seluruh dunia, yaitu generasi
sekarang lebih banyak mengalami kesulitan emosional dibandingkan dengan
generasi sebelumnya. Mereka menampilkan sifat-sifat (1) lebih kesepian dan
pemurung, (2) lebih beringasan dan kurang menghargai sopan santun, (3) lebih
gugup dan mudah cemas, (4) lebih impulsive (mengikuti kemauannaluriah/instintif
tanpa pertimbangan akal sehat) dan agresif.
Kecerdasan emosional ini
merujuk kepada kemampuan-kemampuan memahami diri, mengelola emosi, memanfaatkan
emosi secara produktif, empati dan membina hubungan. Secara rinci unsure-unsur
atau indicator kecerdasan emosional ini dapat disimak pada table berikut.
Untuk membantu para siswa atau
mahasiswa mengembangkan kecerdasan emosional, maka pemberian layanan bimbingan
dan konseling mempunyai peranan penting. Pelayanan bimbingan ini dilaksanakan
secara teamwork,
antara konselor, guru bidang studi, dan kepala sekolah atau antar dosen
pembimbing akademik, wali mahasiswa, organisasi mahasiswa, dan pimpinan
jurusan (program studi).
10.
Kecerdasan
Spiritual
Pada awal peretangahan abad
ke-20, IQ (intelligence quotion) menjadi isu besar dikalangan masyarakat.
Kecerdasan intelektual atau rasioanal ini merujuk kepada kemampuan untuk
memecahkan masalah-masalah logis dan strategis. Para ahli psikologis mulai
menyusun berbagai tes untuk mengukurnya. Melalui tes tersebut, diketahui
tingkat kecerdasan seseorang, yang kemudian dikenal dengan IQ.
Pada pertengahan tahun 1990-an,
Daniel Goleman mempopulerkan hasil-hasil penelitian para ahli ilmu syaraf dan
psikologi, yaitu bahwa kecerdasan emosional (EQ: emotional
quotion) dipandang memiliki posisi
yang sangat pentingdalam kehidupan seseorang.
Kecerdasan emosional merupakan
kesadaran terhadap perasaandiri sendiri dan orang lain, bersikap empati, kasih
sayang, motivasi dankemampuan untuk meresponsuasana kegembiraandan kesedihan
secara tepat.
Goleman mengemukakan bahwa EQ
merupakan prasayarat dasar bagi pengguanan atau berfungsinya IQ secara efektif.
Hal ini nampak pada saat bagian otak memfasilitasi fungsi-fungsi perasaan
terganggu, maka tidak dpat berpikir secara efektif.
Baru-baru ini, yaitu di akhir
abad ke-20 ditemukan “Q” yang ketiga, yaitu SQ, meskipun data ilmiahnya belum
begitu mantap. Dengan ditemukannya SQ (Kecerdasan Spiritual) semakin lengkaplah
gambaran gambaran kecerdasan manusia secara penuh.
SQ ini dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk (1) mengenal dan memecahkan masalah-masalah yang terkait dengan
makna dan niali, (2) menempatkan berbagai kegiatandan kehidupan dalam konteks
yang lebih luas, kaya, dan memberikan makna; dan (3) mengukur atau menilai
bahwasalah satu kegiatan atau langkah kehidupan tertentu lebih bermakna dari
yang lainnya.
Ketiga kecerdasan itu (IQ, EQ, dan
SQ) dipandang sebagai tiga proses psikologis dalam diri seseorang. EQ
merupakan proses primer yang didasarkan kepada jaringan syaraf asosiatif dalam
otak; IQ merupakan proses sekunder yang didasarkan kepada jaringan syaraf
serial dalam otak; dan SQ merupakanproses tersieryang didasarkan kepada sistem
syaraf ketigadalam otak, yaitu syaraf synchronous, yang menyatukan data dalam
otak secara menyeluruh .
Spiritual Quotion (SQ) sebagai
proses tersier psikologis berfungsi untuk (1) mengintegrasikan dan
mentransformasikan bahan-bahan yang berasal daridari proses primer (EQ) dan
proses sekunder (IQ), (2) memfasilitasi suatu dialog diantara pikiran dengan
perasaan, atau antara jiwa dan raga, dan (3) menempatkan self sebagai pusat
keaktifan (kegiatan), penyatuan, dan pemberian makna.
Danah Zohar dan Ian Marshall
sebagai penggagas kecerdasan spiritual mengemukakan bahwa SQ tidak memiliki
hubungan dengan agama. Meskipun banyak orang dapat mengekspresikan SQ melalui
agama, tetapi keberagaman seseorang tidak menjamin tingginya SQ. Bahkan banyak
para humanis dan ateis memiliki tingkat SQ yang tinggi; dan sebaliknya banyak
para aktivis keagamaan yang SQ-nya rendah.
Agama merupakan seperangkat
peraturan dan keyakinan yang dipaksakan dari luar, bersifat top-down, diwariskan dari para nabidan
kitab suci, atau ditanamkan melalui keluarga dan tradisi. Sementara SQ bersifat
internal, kemampuan bawaan psikis dan otak manusia, bersumber dari hati yang
paling dalam. Dengan SQ memungkinkan otak menemukan dan menggunakan makna dalam
memecahkan berbagai masalah.
11.
Kreativitas
a. Pengertian
Kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencipta
suatu produk baru, atau kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru dan
menerapkannya dalam pemecahan masalah. Kreativitas meliputi ciri-ciri kognitif
(aptitude), seperti kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), elaborasi (elaboration), dan pemaknaan kembali (redefinition) dalam pemikiran, maupun
ciri-ciri non-kognitif (non-aptitude),
seperti motivasi, sikap, rasa ingin tahu, senang mengajukan pertanyaan, dan
selalu ingin mencari pengalaman baru.
Ciri-ciri
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut;
1)
Kelancaran
adalah kemampuan manghasilka banyak gagasan
2)
Keluwesan
adalah emampuan untuk mengemukakan bermacam-macam pemecahan atau pendekatan
terhadap masalah.
3)
Keaslian
adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli, tidak
klise.
4)
Elaborasi
adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu secara terperinci
5)
Redefinisi
adalah kemampuan untuk meninjau suatu persoalan berdasarkan perspektif yang
berbeda dengan apa yang sudah diketahui oleh orang banyak.
12.
Stres
Dan Pengelolaannya
a. Teori Stres
Stres meruapakan fenomena
psikofisik. Stres dialami oleh setiap orang, dengan tidak mengenal jenis
kelamin, usia, kedudukan, jabatan atau status sosial ekonomi. Stress bias
dialami oleh seorang bayi, anak-anak, remaja atau dewasa, dialami oleh pejabat,
atau warga masyrakat biasa, dialami oleh pengusaha atau karyawan, dialami oleh
guru maupun siswa, dan dialami oleh pria maupun wanita.
Stress dapat berpengaruh
positif maupun negatif terhadap individu. Pengaruh positif, yaitu mendorong
individu untuk melakukan sesuatu, membangkitkan kesadaran, dan menghasilkan
pengalaman baru. Sedangkan pengaruh negative, yaitu menimbulkan
perasaan-perasaan tidak percaya diri, penolakan, marah, atau depresi, dan
memicu berjangkitnya sakit kepala, sakit perut, insomnia, tekanan darah tinggi,
atau stroke.
Pengaruh negatif dari stress
itu, dapat disimak dari contoh kasus di atas. Kasus tersebut menunjukkan bahwa
sikap penolakan dan pelakuan seorang ibu yang kasar terhadap anak, dapat
menyebabkan stress bagi anak tersebut. Stress anak yang berkepanjagan ternyata
berpengaruh negatif bagi perkembangan kepribadiannya, yaitu bersifat kurang
percaya diri, dan takut melakukan sesuatu.
Teori dasar tentang stress
dapat di simpulkan ke dalam tiga variable pokok, yaitu sebagai berikut:
1)
Variabel
Stimulus atau engineering approach (pendekatan rekayasa)
yang mengkopsepsikan stress sebagai suatu stimulus atau tuntutan yang mengancam
(berbahaya), yaitu tekanan dari luar terhadap individu yang dapat menyebabkan
sakit (memngganggu kesehatan).
2)
Variabel
Respon atau physiological approach (pendekatan psikologis)
yang didasarkan pada model triphase dari Hans Selye. Dia mengembangkan konsep
yang lebih spesifik tentang reaksi manusia terhadap stressor, yang dia namakan
GAS (General Adaption Syndrome), yaitu mekanisme respon tipikal tubuhdalam merespon rasa sakit,
ancaman atau stressor lainnya.
3)
Variabel
Interaktif, yang meliputi dua teori yaitu sebagai berikut: Teori Interaksional
yang mempokuskan pembahasannya kepada aspek-aspek keterkaitan antara individu
dengan lingkungannya, dan hakekat hubungan antara tuntutan pekerjaan dengan
kebebasan mengambil keputusan. Sedangkan Teori Transaksional yang memfokuskan
pembahasannya kepada aspek-aspek kognitif dan afektif individu dalam
berinteraksi dengan lingkungannya, serta gaya-gaya “coping” yang dilakukannya.
2.4 Landasan Sosiologis (Sosial-Budaya) Bimbingan dan Konseling
Arus modernisasi di samping berdampak positif, seperti
diperolahnya kemudahan dalam bidang komunikasi dan tranportasi. Di sisi lain
ternyata telah melahirkan dampak yang kurang menguntungkan, yaitu dengan
menggejalannya berbagai problema yang semakin kompleks, baik yang bersifat
personal maupun sosial. Manusia modern telah terpedaya oleh produk pemikirannya
sendiri, karena tidak mampu mengontrol dampak sampingannya, seperti rusaknya
lingkungan (banjir, longsor, polusi udara, dan air) yang memporak-porandakan
kenyamanan hidupnya sendiri.
Kehidupan yang terlalu berorientasi kepada kemajuan dalam
bidang material (pemenuh kebutuhan biologis) telah menelantarkan supra empiris
manusia, sehingga terjadi pemiskinan rohaniyah dalam dirinya. Kondisi ini
ternyata sangat kondusif bagi berkembanganya masalah-masalah pribadi dan sosial
yang terekspresikan dalam suasana psikologis yang kurang nyamna, seperti;
perasaan cemas, stress, dan perasaan terasing, serta terjadinya penyimpangan
moral atau sistem nilai.
Dalam suatu penelitian terhadap masyarakat Barat
dikemukakan bahwa akibat sampingan dari gaya modern, seperti di negara-negara
industri adalah munculnya berbagai problem sosial dan personal yang cukup
kompleks. Problem tersebut seperti: (1) ketegangan fisik dan psikis, (2)
kehidupan yang serba rumit, (3) kekhawatiran atau kecemasan akan masa depan,
(4) semakin tidak manusiawinya hubungan antar individu, (5) rasa terasing dari
anggota keluarga dan anggota lainnya, (6) renggangnya hubungan kekeluargaan,
(7) terjadinya penyimpangan moral dan sistem nilai, dan (8) hilangnya identitas
diri (menurut Rusdi Muslim, Suara
Pembaharuan,9 oktober 1993).
Sekolah tidak dapat melepaskan diri dari situasi
kehidupan masyarakat, dan mempunyai tanggung jawab untuk mambantu para siswa
atau peserta didik bak sebagai pribadi maupun sebagai calon anggota masyarakat.
Sebagai suatu lembaga pendidikan formal, sekolah bertanggung jawab untuk
mendidik dan menyiapkan siswa agar berhasil menyesuaikan diri di masyarakat dan
mampu memecahkan berbagi masalah yang dihadapinya. Kegiatan belajar mengajar
merupakan salah satu diantara kegiatan yang diberikan oleh sekolah; namun
sesungguhnya kegiatan itu saja belum cukup mamadai dalam menyiapkan siswa untuk
terjun ke masyarakan dengan berhasil. Oleh karena itu, sekolah hendaknya
memecahkan masalah yang dihadapinya. Siswa agar mampu memberikan bantuan secara
pribadi kepada siswa agar mampu memcahkan masalah yang dihadapinya. Siswa
hendaknya dibantu, agar apa yang mereka terima di sekolah merupakan bakal untuk
menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan mampu memecahkan masalah-masalah
yang dihadapinya.
Di dalam situasi inilah bimbingan dan konseling akan
terasa diperlukan sebagai suatu bentuk bantuan kepada siswa. Program bimbingan
dan konseling membantu berhasilnya program pendidikan pada umumnya.
Faktor
faktor Sosial Budaya yang Menimbulkan Kebutuhan akan Bimbingan
Kebutuhan akan bimbingan timbul karena adanya
masalah-masalah yang dihadapi oleh individu yang terlibatd alam kehidupan masyarakat.
Semakin rumit strukutur masyarakat dan keadaannya, semakin banyak dan rumit
pula masalah yang dihadapi oleh individu yang terdapat dalam masyarakat itu.
Jadi kebutuhan akan bimbingan itu timbul karena terdapat
faktor yang menambah rumitnya keadaan masyarakat di mana individu itu hidup.
Faktor-faktor itu di antaranya sebagai berikut. (John J. Pietrofesa dkk., 1980;
M. Surya & Rochman N., 1986; dan Rochman N., 1987).
a. Perubahan Konstelasi Keluarga
Ketidakberfungsian keluarga melahirkan dampak negatif bagi
kahidupan moralitas anak. Bagi keluarga yang mengalami kondisi disfungsional
seperti di atas, seringkali dihadapkan kepada kebutuhan atau kesulitan mencari
jalan keluar untuk pemecahan masalah yang dihadapinya, sehingga apabila tidak
segara mendapat bantuan dari luar, maka masalah yang dihadapinya akan semakin
parah. Salah satu bantuan yang dapat memfasilitasi keluarga memecahkan masalah
yang dihadapinya adalah layanan bimbingan atau konseling yang berupaya mambantu
untuk memelihara keutuhan atau keharmonisan keluarga.
b. Perkembangan Pendidikan
Demokrasi dalam bidang kenegaraan menyebabkan
demokratisasi dalam bidang kehidupan,termasuk bidang pendidikan. Hal ini
berarti pemberian kesempatan kepada setiap orang untuk menikmati pendidikan
yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pun oleh badan swasta. Kesempatan
yang terbuka ini menyebabkan berkumpulnya murid-murid dari berbagai kalangan
yang berbeda-beda latar belakangnya antara lain:agama, etnis, keadaan soail,
adat istiadat, dan ekonomi. Hal semacam ini menimbulkan bertumpuknya masalah
yang dihadapi oleh orang yang terlibat dalam kelompok campuran itu. Pemecahan
ini dapat diperoleh dengan melaksanakan bimbingan bagi anggota kelompok yang
bersangkutan, dalam hal ini kelompok murid sekolah.
c. Dunia Kerja
Berbagai perubahan dalam dunia kerja menuntut keahlian
khusus dari para pekerja. Untuk itu dipersiapkan tenaga-tenaga yang terampil
dan memiliki sikap mental yang tangguh dalam bekerja. Bimbingan dan konseling
diperlukan untuk membantu menyiapkan mental para pekerja yang tangguh itu.
d. Perkembangan Kota Metropolitan
Kecenderungan bertumbuhnya kota-kota abad ke-21 akan
mendorong semakin meledaknya arus urbanisasi. Kondisi ini akan menimbulkan
dampak sosial yang buruk bagi kehidupan masyarakat perkotaan. Kondisi kehidupan
yang buruk bagi kehidupan masyarakat di perkotaan. Kondisi kehidupan di atas
dapat menjadi sumber pemicu malapetaka kehidupan terutama meyangkut
masalah-masalah psikologis seperti gelaja ”maladjustment” dan “Pathologic”
(gangguan jiwa dan sakit jiwa). Bimbingan dan konseling dibutuhkan untuk
membantu masyarakat mengatasi masalah-masalah psikologis sehingga mereka dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
e. Perkembangan Komunikasi
Dampak media massa (terutama televisi) terhadap kehidupan
manusia sangatlah besar. Televisi telah menjadi pusat hiburan keluarga. Dewasa
ini anak-anak dan para remajarata-rata menghabiskan waktu setiap harinya 6 jam
untuk menonton televisi telah mengembangkan sikap konsumerisme di kalangan
masyarakat. Di samping itu program-program yang ditayangkannya tidak sedkit
yang merusak nilai-nilai pendidikan, karena banyak adegan kekerasan, mistik dan
moral. Dalam hal ini layanan bimbingan yang memfsilitasi berkembangnya
kehidupan anak dalam mengambil keputusan (decision-making
skill) merupakan pendekatan yang sangat tepat.
f. Seksisme dan Rasisme
Seksisme merupakan paham yang mengunggulkan salah satu
jenis kelamin dari jenis kelamin lainnya. Sementara rasisme merupakan paham
yang mengunggulkan ras yang salah satu dari ras lainnya. Di Amerika, seksisme
masih merupakan kebiasaan atau fenomena umum dikalangan masyarakat. Fenomena
ini seperti terlihat dari sikap orang tua yang masih memegang budaya
tradisional dalam pemilihan karir bagi anak wanita, yang membatasi atau tidak
memberikan kebebasan kepada anak wanita untuk memilih sendiri karir yang
diminatinya.
Rasisme masih menyelimui iklim kehidupan masyarakat di
Amerika. Selama tahun 1978-1979 para pemimpin kulit hitam sudah bersikap apatis
dalam melawan perlakuan diskriminatif (rasisme) terhadap mereka.
g. Kesehatan Mental
Masalah kesehatan mental di Amerika Serikat ternyata
semakin marak, tidak dapat dihentikan. Data tentang maraknya masalah kesehatan
mental ini dilaporkan oleh Coleman yang malakukan survey pada tahun 1974.
Dengan adanya masalah tersbut maka sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga
perusahaan dituntut untuk menyelenggarakan program layanan bimbingan dan
konseling dalam upaya mengembangkan mental yang sehat, dan mencegah serta menyembuhkan
mental yang tidak sehat.
h. Perkembangan Teknologi
Dengan perkembangan teknologi yang pesat, timbul dua masalah penting yang
menyebabkan kerumitan struktur dan keadaan masyarakat, ialah (1) penggantian
sebagai besar tenaga kerja dengan alat-alat mekanis-elektronik, dan hal ini mau
tidak mau menyebabkan pengangguran, (2) bertambahnya jenis-jenis pekerjaan dan
jabatan baru yang menghendaki keahlian khusus dan memerlukan pendidikan khusus
pula bagi orang-orang yang hendak menjabatnya.
Kedua masalah utama ini menimbulkan kebutuhan bagi
orang-orang yang bersangkutan, terutama murid-murid di sekolah untuk
mendapatkan pengetahuan tentang berbagai pilihan jabatan dan cara memilih
dengan tepat. Hal ini menimbulkan kebutuhan pada mereka untuk meminta bantuan kepada
orang lain atau badan yang berwenang untuk memecahkannya. Dan di sinilah
kebutuhan akan bimbingan itu terasa sangat dibutuhkan.
i.
Kondisi Moral dan Keagamaan
Kebebasan untuk menganut agama sesuai dengan keyakina
masing-masing individu menyebabkan seseoranng individu berpikir dan menilai
setiap agama yang dianutnya. Kadang-kadang menilainya berdasarkan nilai-nilai
moral umum yang dianggapnya paling baik sehinga kadang dapat menimbulkan
keraguan akan kepercayaan yang telah diwarisi dari orang tua mereka.
Pada kenyataannya para kaum muda menilai keyakian
terhadap agama itu sering didasarkan pada atas kesenangan pribadi yang nyata
dan akan membawa pada perasaan tertekan oleh norma-norma agama atau pun nilai
moral yang dianut oleh orangtuanya. Dengan demikian mereka akan dihadapkan
kepada pilihan-pilihan yang tidak mudah untuk ditentukan, karena meyangkut hal
yang sangat mendasar dan peka. Makin banyak ragamnya ukuran penilaian, makin
besar pula konflik yang diderita oleh individu yang bersangkutan dan makin terasalah
kebutuhan akan bimbingan yang baik untu menanggulanginya.
j.
Kondisi sosial Ekonomi
Perbedaan yang besar dalam faktor ekonomi di antara
anggota kelompok campuran, menimbulkan masalah yang berat. Masalah ini terutama
sangat dirasakan oleh individu yang berasal dari golongan ekonomi lemah, tidak
mampu, atau golongan “rendahan.” Di ekonomi lemah, tidak mustahil timbul
kecemburuan sosial, perasaan rendah diri, atau perasaan tidak nyaman untuk
bergaul dengan anak-anak dari keompok orang-orang kaya. Untuk menanggulangi
masalah ini dengan sendirinya memerlukan adanya bimbingan, baik terhadap mereka
yang datang dari golongan yang kurang mampu atau pun dari mereka golongan
sebaliknya.
2.5 Landasan Pedagogis Bimbingan dan Konseling
Sunaryo kartadinata (2011: 23)
mengemukakan bahwa bimbingan dan konseling adalah upaya pedagogis untuk
memfasilitasi perkembangan individu dari kondisi apa adanya kepada kondisi
bagaimana seharusnya sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh setiap individu,
sehingga bimbingan dan konseling adalah sebuah upaya normatif.
Myrick (Kartadinata, 2011: 24)
menegaskan bahwa:
1.
Bimbingan meresap ke dalam kurikulum sekolah
atau proses pembelajaran yang bertujuan untuk memaksimumkan perkembangan
potensi individu. Dalam konteks ini bimbingan merupakan filsafat pendidikan
umum atau “state of mind” artinya pendidik mengedepankan martabat dan keunikan
individu di dalam upaya menciptakan lingkungan sekolah, sebagai lingkungan
perkembangan, dan pembelajaran yang baik.
2.
Bimbingan menembus konstelasi layanan yang
terarah kepada pengambangan pribadi, karir, dan penyesuaian sekolah, yang
secara umum dilaksanakan oleh pendidik professional seperti konselor dan/atau
dalam hal tertentu melibatkan guru dan personil lainnya.
Dapat
dipahami bahwa bimbingan adalah proses membantu individu memahami diri dan
dunianya, dan dalam konteks pendidikan bimbingan terfokus kepada pengembangan
lingkungan belajar yang memfasilitasi individu memperoleh kesuksesan belajar.
Tohirin
(2007: 103) mengatakan bahwa landasan bimbingan dan konseling setidaknya
berkaitan dengan: (1) Pendidikan sebagai upaya pengembangan individu dan
bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan, (2) Pendidikan
sebagai inti proses bimbingan dan konseling, dan (3) pendidikan lebih lanjut
sebagai inti tujuan bimbingan dan konseling.
a.
Pendidikan sebagai upaya pengembangan individu
dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan
Prayitno dan Erman Amti
(1999) mengutip pendapat Crow and crow (1990) (Tohirin, 2007: 107) menyatakan
bahwa:
Bimbingan menyediakan unsur-unsur di
luar pendidikan yang dapat dipergunakan untuk mengembangkan diri. Dalam arti
luas, bimbingan dapat dianggap sebagai bentuk upaya pendidikan. Dalam arti yang
sempit bimbingan meliputi berbagai teknik, termasuk di dalamnya konseling yang
memungkinkan individu menolon dirinya sendiri.
Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Seorang
bagi manusia hanya akan dapat menjadi manusia sesuai dengan tuntutan budaya
hanya melalui pendidikan. Tanpa pendidikan, bagi manusia yang telah lahir itu
tidak akan mampu memperkembangkan dimensi keindividualannya, kesosialisasiannya
dan keberagamaannya.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional menetapkan pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
b.
Pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan
konseling
Prayitno dan Erman Amti (1999)
mengutip pendapat Gistod (1953) (Tohirin, 2007: 108) menegaskan bahwa pada
dasarnya bimbingan dan konseling merupakan proses yang memiliki orientasi untuk
belajar, yakni belajar untuk memahami lebih jauh tentang diri sendiri, belajar
untuk mengembangkan dan menerapkan secara efektif berbagai pemahaman. Lebih jauh, Nugent (1981) mengemukakan
bahwa dalam konseling individu akan mempelajari keterampilan dalam pengambilan
keputusan. Pemecahan masalah, tingkah laku, tindakan, serta sikap-sikap baru.
Dengan belajar itulah individu akan memperoleh berbagai hal yang baru bagi
dirinya; dengan memperoleh hal-hal baru itulah individu dapat berkembang.
c.
Pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan
bimbingan dan konseling.
Bimbingan dan konseling
mempunyai dua jenis tujuan yaitu tujuan jangka pendek dan jangka panjang
(Tohirin, 2007: 109). Tujuan jangka pendek dari bimbingan dan konseling adalah
membantu individu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Sedangkan tujuan
jangka panjangnya adalah sebagai upaya bimbingan terhadap diri sendiri, yakni
mampu mengembangkan kemampuan untuk memecahkan sendiri masalah yang dihadapi.
2.6 Landasan Agama Bimbingan dan Konseling
Landasan agama bimbingan dan konseling pada dasarnya
ingin menetapkan klien sebagai makhluk Tuhan dengan segenap kemuliaannya
menjadi fokus sentral upaya bimbingan dan konseling (Prayitno dan Erman Amti,
2003: 233). Pembahasan landasan religius ini, terkait dengan upaya
mengintegrasikan nilai-nilai agama dalam proses bimbingan dan konseling.
Terkait dengan kecenderungan berkembangnya konseling yang
berbasis spiritual, Stanard et.al. (M.
Surya, 2003) mengusulkan agar spiritualitas ini dijadikan sebagai angkatan ke
lima dalam konseling dan psikoterapi. Selanjutnya dijelaskan bahwa “spirituality includes consepts such as
trancendence,s elf actualization, purpose and meaning, wholeness, balance,
sacredness, universality, and a sense of high power.”
Konselor dituntut memiliki pemahaman tentang hakikat
manusia menurut agama dan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Sehubungan
dengan hal itu maka pada uraian berikut akan dibahas mengenai hakikat manusia
menurut agama, peranan agama, dan persyaratan konselor.
1. Hakikat Manusia Menurut Agama
Menurut sifat hakiki manusia adalah makhluk beragama (homo religius), yaitu makhluk yang
mempunyai fitrah untuk memahami dan menerima nilai-nilai kebenaran yang
bersumber dari agama, serta sekaligus menjadikan kebenaran agama itu sebagai
rujukan (referensi) sikap dan
perilakunya. Dapat juga dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki
motif beragama, rasa keagamaan, dan
kemampuan untuk memahami serta mengamalkan nilai-nilai agama.
Fitrah beragama ini merupakan potensi yang arah
perkembangannya amat tergantung pada kehidupan beragama lingkngan dimana orang
(anak) itu hidup, terutama lingkungan keluarga. Apabila kondisi tersebut
kondusif, dalam arti lingkungan itu memberikan ajaran, bimbingan dengan
pemberian dorongan (motivasi) dan ketauladanan yang baik (uswah hasanah) dalam mengamalkan nilai-nilai agama, maka anak itu
akan berkembang menjadi manusia yang berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur (berakhlalaaqul kariimah).
Dengan mengamalkan ajaran agama, berarti manusia telah
mewujudkan jati dirinya, identitas dirinya (self-identity)
yang hakiki, yaitu sebagai ‘abdullah (hamba
Allah) dan khalifah di muka bumi. Sebagai khalifah berarti manusia menurut
fitrahnya adalah makhluk sosial yang bersifat altruis (sikap sosial untuk
membantu orang lain).
Sebagai hamba dan khalifah Allah, manusia mempunyai tugas
suci, yaitu ibadah atau mengabdi kepada-Nya. Bentuk pengabdian itu baik yang
bersifat ritual-personal (seperti shlat, shaum, dan berdoa) maupun ibadah
sosial, yaitu menjalin silahturahim (hubungan persaudaraan antar manusia) dan
menciptakan lingkungan yang bermanfaat bagi kesejahteraan atau kebahagiaan umat
manusia (rahamatan lil’alamin).
2. Peranan Agama
Agama sebagai pedoman hidup bagi manusia telah memberikan
petunjuk (hudan) tentang berbagai
aspek kehidupan, termasuk pembinaan atau pengembangan mental (rohani) yang
sehat. Sebagai petunjuk hidup bagi manusia dalam mencapai mentalnya yang sehat,
agama berfungsi sebagai berikut.
a.
Memelihara Fitrah
Manusia
dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Namun manusia mempunyai hawa nafsu
(naluri atau dorongan untuk memenuhi kebutuhan/keinginan), dan juga ada pihak
luar yang senantiasa berusaha menggoda atau menyelewengkan manusia dari
kebenaran, yaitu setan, manusia sering terjerumus melakukan perbuatan dosa.
Agar
manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya dan terhindar dari godaan setan
(sehingga dirinya tetap suci), maka manusia harus beragama, atau bertakwa
kepada Allah, yaitu beriman dan beramal shaleh, atau melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi larangannya-Nya.
b.
Memelihara Jiwa
Agama
sangat menghargai harkat dan martabat, atau kemuliaan manusia. Dalam memelihara
kemuliaan jiwa manusia, agama mengharamkan atau melarang manusia melakukan
penganiayaan, penyiksaan, atau pembunuhan, baik terhadap dirinya sendiri maupun
orang lain.
c.
Memelihara Akal
Dengan
akalnya inilah, manusia memiliki (a) kemampuan untuk membedakan yang baik dan
buruk, atau memahami dan menerima nilai-nilai agama, dan (b) mengembangkan ilmu
dan teknologi, atau mengembangkan kebudayaan. Melalui kemampuan inilah manusia
dapat berkembang manjadi makhluk yang berbudaya.
d.
Memelihara Keturunan
Agama
mangajarkan kepada manusia tentang cara memelihara keturunan atau sistem
regenerasi yang suci. Aturan atau norma agama untuk memelihara keturunan itu
adalah pernikahan. Menurut Zakariah Daradjat (1982) salah satu peranan agama
adalah sebagai terapi (penyembuhan) bagi gangguan kejiwaan.
M.
Surya (1977) mengemukakan bahwa agama memegang peranan sebagai penentu dalam
proses penyesuaian diri. Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan dan
pola-pola tingkah laku yang akan memberikan tuntunan bagi arti, tujuan dan
kestabilan hidup umat manusia.
Berikut akan dikemukakan pendapat para ahli tentang
pengaruh agama terhadap kesehatan mental.
1)
A.A. Briel (psikoanalisis) mengatakan bahwa, “individu yang
benar-benar religius tidak akan pernah menderita sakit jiwa.”
2)
Arnold Toynbee (sejarahwan Inggris) mengemukakan bahwa
krisis yang diderita orang-orang Eropa pada zaman modern ini pada dasarnya
terjadi karena kemiskinan rohaniah dan terapi satu-satunya bagi penderita yang
sedang mereka alami ialah kembali kepada agama.
3)
Larson berpendapat bahwa:”... in navigating the complexities of human
health and relationship, religious commitment is a force to consider.”
(Untuk mengemudikan atau mengendalikan kompleksitas hubungan dan kesehatan manusia, maka komitmen terhadap agama
merupakan suatu kekuatan yang patut diperhatika). (Utsman najati, 1985; Iqbal
Setyarso dan M. Solihat, 1996)
Berdasarkan pendapat para ahli dan temuan-temuan hasil
penelitian menunjukkan bahwa agama sangat berperan (berkontribusi secara
signifikan) terhadap pencerahan diri dan kesehatan mental individu. Bertitik
tolak dari hal ini, maka pengintegrasian atau penerapan nilai-nilai agama dalam
layanan bimbingan dan konseling merupakan suatu keniscayaan yang harus ditumbuh
kembangkan.
Mengenai kaitan antara keimanan kepada Tuhan dan
pengamalan ajaran-Nya dengan kesehatan mental, dalam al-Qur’an banyak ayat yang
menunjukkan hal tersebut, yaitu sebagai berikut.
1)
Surat At-Tiin mengisyaratkan bahwa “manusia
akan mengalami kehidupan yang hina/jatuh martabatnya termasuk juga kehidupan
psikologis yang tidak nyaman (mentalnya tidak sehta) kecuali orang-orang yang
beriman dan beramal shlaeh (berbuat kebajikan).”
2)
Senada dengan surat At-Tiin adalah surah Al-‘Ashr, yaitu bahwa “semua manusia itu merugi (celaka hidupnya,
tidak tentram, atau perasaan resah dan gelisah) kecuali orang-orang yang
beriman, beramal shaleh, dan saling mewasiati dengan kebenaran dan kesabaran.”
3)
Surat Ar-Ra’du: 28,”yaitu
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan berzikir kepada
Allah-lah, hati akan menajadi tenteram (bahagia).”
3.
Persyaratan Konselor
Landasan
religius dalam bimbingan dan konseling mengimplikasikan bahwa konselor sebagai
“helper,” pemberi bantuan dituntut untuk memilih pemahaman akan nilai-nilai
agama, dan komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilia-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari, khususnya dalam memberikan layanan bimbingan dan
konseling kepada klien atau peserta didik. Konselor seyogianya mneyadari bahwa
memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada klien merupakan salah satu
kegiatan yang bernilai ibadah, karena di dalam proses bantuannya terkandung
nilai “amar ma’ruh nahyi munkar”
(mengembangkan kabaikan dan mecegah keburukan). Agar layanan bantuan yang
diberikan itu bernilai ibadah, maka kegiatan tersebut harus didasarkan kepada
keikhlasan dan kesabaran.
Kaitan
dengan hal tersebut, Prayitno dan Erman Amti mengemukakakn persyaratan bagi
konselor, yaitu sebagai berikut.
a.
Konselor hendaklah orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik
keimanan dan ketaqwaannya sesuai dengan agama yang dianutnya.
b.
Konselor sedapat-dapatnya mampu mentransfer kaidah-kaidah agama secara
garis besar yang relevan dengan masalh klien.
c.
Konselor harus benar-benar memperhatikan dan menghormati agama klien.
2.7 Landasan Perkembangan IPTEK Bimbingan dan
Konseling
Landasan ilmiah dan teknologi membicarakan sifat keilmuan
bimbingan dan konseling. Bimbingan dan konseling sebagai ilmu yang
multidimensional yang menerima sumbangan besar dari ilmu-ilmu lain dan bidang
teknologi.
Sehingga bimbingan dan konseling diharapkan semakin
kokoh. Dan mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi.yang berkembang
pesat. Disamping itu penelitian dalam bimbingan dan konseling sendiri
memberikan bahan-bahan yang yang segar dalam perkembangan bimbingan dan
konseling yang berkelanjutan.
1. Keilmuan
Bimbingan dan Konseling
Tohirin
(2007: 101) mengatakan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling merupakan
kegiatan professional yang dilaksanakan atas dasar keilmuan baik yang menyangkut
teori-teorinya, pelaksanaan kegiatannya, maupun pengembangannya. Secara
keilmuan, bimbingan dan konseling merupakan pengetahuan yang telah tersusun
rapi dan sistematis. Landasan ilmiah bimbingan dan konseling mengisyaratkan
bahwa praktik bimbingan dan konseling harus dilaksanakan atas dasar keilmuan.
Sehingga setiap orang yang berkecimpung dalam bimbingan dan konseling harus
memiliki ilmu bimbingan dan konseling.
Ilmu bimbingan dan konseling adalah berbagai pengetahuan
tentang bimbingan dan konseling yang tersusun secara logis dan sistematik.
Sebagai layaknya ilmu-ilmu yang lain, ilmu bimbingan dan konseling mempunyai
obyek kajiannya sendiri, metode pengalihan pengetahuan yang menjadi ruang
lingkupnya, dan sistematika pemaparannya.
Obyek kajian bimbingan dan konseling ialah upaya bantuan
yang diberikan kepada individu yang mangacu pada ke-4 fungsi pelayanan yakni
fungsi pemahaman, pencegahan, pengentasan dan pemeliharaan atau pengembangan.
Dalam menjabarkan tentang bimbingan dan konseling dapat digunakan berbagai cara
atau metode, seperti pengamatan, wawancara, analisis dokumen (Riwayat hidup,
laporan perkembangan), prosedur teks penelitian, buku teks, dan tulisan-tulisan
ilmiah lainnya mengenai obyek kajian bimbingan dan konseling merupakan wujud dari
keilmuan bimbingan dan konseling.
2. Peran Ilmu
Lain dan Teknologi dalam Bimbingan dan Konseling
Ilmu
bimbingan dan konseling bersifat multireferensial,
artinya suatu disiplin ilmu dengan rujukan atau referensi dari ilmu-ilmu lain
seperti psikologi, ilmu pendidikan, ilmu sosiologi, antropologi, ekonomi, ilmu
agama, ilmu hukum, filsafat, dan lain-lain.
Kontribusi
ilmu-ilmu lain terhadap bimbingan dan konseling tidak hanya terbatas kepada
pembentukan dan pengembangan teori-teori bimbingan dan konseling melainkan juga
pada praktik pelayanannya.
Selain
memerlukan dukungan dari ilmu lain, praktik bimbingan dan konseling juga
memerlukan dukungan perangkat teknologi. Dukungan perangkat teknologi terhadap
praktik bimbingan dan konseling antara lain dalam pembuatan instrument
bimbingan dan konseling dan penggunaan berbagai alat atau media untuk
memperjelas materi bimbingan dan konseling.
Bimbingan
dan konseling baik pada tataran teori dan praktik bersifat dinamis. Artinya,
bimbingan dan konseling berkembang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
3. Pengembangan Bimbingan Konseling Melalui Penelitian
Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling
boleh jadi dapat dikembangkan melalui proses pemikiran dan perenungan, namun
pengembangan yang lebih lengkap dan teruji didalam praktek adalah apabila
pemikiran dan perenungan itu memperhatikan pula hasil-hasil penelitian
dilapangan. Melalui penelitian suatu teori dan praktek bimbingan dan konseling
menemukan pembuktian tentang ketepatan/ keefektifan dilapangan. Layanan
bimbingan dan konseling akan semakin berkembangan dan maju jika dilakukan penelitian
secara terus menerus terhadap berbagai aspek yang berhubungan dengan Bimbingan
dan Konseling.
2.8 Sejarah Perkembangan Bimbingan dan
Konseling
a. Sejarah Lahirnya Bimbingan Konseling
Gerakan bimbingan lahir pada tanggal 13 Januari 1908 di
Amerika, dengan didirikannya suatu vocational bureau tahun
1908 oleh Frank Parsons yang utuk selanjutnya dikenal sebagai“Father of The
Guedance Movement in American Education”. Yang menekankan pentingnya
setiap individu diberikan pertolongan agar mereka dapat mengenal atau memahami
berbagai perbuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya dengan tujuan agar dapat
dipergunakan secara intelijensi dengan memilih pekerjaan yang terbaik yang
tepat bagi dirinya (wieke octora olivia,2012).
Disinilah pertama kalinya istilah Bimbingan (Vocational
Guidance) dikenal, tepatnya pada akhir abad ke-19 hingga awal abad
ke-20 di Boston. Dengan didirikannya biro yang bergerak di bidang profesi dan
ketenaga kerjaan. Dengan tujuan membantu para pemuda dalam memilih karir yang
ia bidangi dan melatih para guru untuk memberikan layanan bimbingan di sekolah.
Pada masa yang hampir bersamaan, seorang konselor di
Detroit Jasse B. Davis mulai memberikan layanan Konseling
Pendidikan dan pekerjaan di SMA (1898). Dan pada tahun 1907 ia mencoba
memasukkan program Bimbingan (Guidance) ke dalam pengalaman
pendidikan para siswa Central High School di Detroit.
Eli Weaver pada tahun 1905 mendirikan sebuah komite yang
diketuainya sendiri yaituStudents Aid Committee Of The High School di New york. Dalam
pengembangan komitenya, Weaver sampai pada kesimpulan bahwa siswa butuh saran
dan konsultasi sebelum mereka masuk dunia kerja. Pada tahun 1920-an, para
konselor sekolah di Boston dan New York diharapkan dapat membantu para siswa
dalam memilih sekolah dan pekerjaan. Selama tahun 1920-an itu pula, sertifikasi
konselor sekolah mulai diterapkan pada kedua kota tersebut (Bimo Walgito,
2010:15)
Jika dilihat dari perkembangannya, Bimbingan Konseling
mula-mulanya hanya dikenal sebatas pada bimbingan pekerjaan (Vocational
Guidance), sebagaimana peran dari Biro yang didirikan Frank Parson di
Boston. Namun sebenarnya tidak hanya itu, di sisi lain perkembangan Bimbingan
Konseling pun merambah kebidang pendidikan (Education Guidance) yang
dirintis oleh Jasse B. Davis. dan sekarang dikenal pula adanya bimbingan dalam
segi kepribadian (Personal Guidance).
Pada dasarnya, Bimbingan Konseling tidak hanya berkmbang
pada bidang-bidang tersebut, namun berkembang pula pada bidang-bidang lain yang
meliputi pegertian dan pratek bimbingan dan Konseling, seperti bimbingan dalam
bidang social, kewarganegaraan, keagamaan, dan lain-lain.
b. Faktor-faktor
yang melatar belakangi berkembangnya Bimbingan Konseling
Upaya
layanan bimbingan dan konseling secara profesional lahir di Amerika serikat dan
berkembang pesat abad ke-20. Banyak faktor yang mendorong pesatnya perkembangan
disiplin ilmu ini, hingga mampu menerobos institusi-institusi pendidikan
khususnya sekolah. Sedikitnya, terdapat enam faktor yang mempelopori
perkembangan bimbingan dan konseling tersebut, di antaranya yaitu:
1.
Perhatian pemerintah terhadap penduduk imigran yang datang
ke Amerika Serikat dari kawasan Eropa, mereka membutuhkan pekerjaan yang layak,
dari situlah kemudian mendapat layanan dari biro-biro vokasional pemerintah,
yang melalui penyuluhan-penyuluhan untuk mengarahkan bakat dan minat mereka
agar pekerjaan yang di dapat sesuai dengan potensi mereka.
2.
Pandangan Kristen yang beranggapan bahwa dunia adalah tempat
pertempuran antara kekuatan baik dan buruk, atas dasar ini maka berbagai
lembaga pendidikan di wajibkan mengajarkan moral kebaikan agar anak didiknya
kelak menjadi pemenang dalam melawan kejahatan atau keburukan tersebut.
3.
Pengaruh dari disiplin ilmu kesehatan mental yang pada
awalnya memperjuangkan perlakuan manusiawi kepada orang-orang yang terkena
gangguan jiwa dan sedang di tampung di rumah sakit. Kemudian disiplin ilmu ini
melakukan gerakan antisipasi terhadap gangguan mental kepada masyarakat. Sebab
mereka berangggapan bahwa gangguan mental dapat dicegah jika mampu dideteksi
sejak dini.
4.
Dampak dari gerakan testing psikologis yang semakin
mengembangkan sayapnya dalam membuat instrumen-instrumen berupa tes-tes
kepribadian untuk menyeleksi karyawan di berbagai perusahaan.
5.
Subsidi dari pemerintah terhadap federal yang memungkinkan
lembaga-lembaga pendidikan untuk mengangkat beberapa konselor untuk menangani
bimbingan karier, pendidikan karier, penanggulangan kenakalan remaja,
antisipasi terhadap penggunaan obat bius, dan lain-lain
6.
Pengaruh dari penyakit terapi nondirektif (client cetered
therapy), yang dikembangkan oleh Carl Rogers, dengan menggantikan pendekatan
otoriter serta paternalistic dengan pendekatan pada potensi personal
kliennya.(Jareperpus,2011).
2.9
Perkembangan Bimbingan Konseling Di Indonesia
a. Sejarah Lahirnya Bimbingan Konseling di
Indonesia
Di Indonesia sendiri, praktek Bimbingan Konseling
sebenarnya sudah lama diperankan, seperti berdirinya organisasi pemuda Budi
Utomo pada tahun 1908, himgga pada periode selanjutnya berdirilah
pergurua Taman Siswa pada tahun 1922 yang diprakarsai oleh Ki Hajar
Dewantara yang menanamkan nilai-nilai Nasionalisme di kalangan para siswanya.
Prinsip didaktik yang dipegang oleh Perguruan Nasional Taman
Siswa ini antara lain: kemerdekaan belajar, bekerja dan menggunakan pendekatan
konvergensi. Dari pola pendidikan Taman Siswa tersebut telah nampak perhatian
dan penghargaan terhadap potensi seseorang dan kemerdekaan untuk mengembangkan
potensi. Hal ini merupakan benih dari gerakan bimbingan konseling. .(wieke octora olivia,2012).
Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945 dan didiriknnya beberapa kementrian pada waktu itu (ada Kantor
Penempatan Kerja) yang salah satu kegiatannya dilakukan di Kantor
Penempatan Tenaga Kerja yang maksudnya untuk menempatkan orang-orang agar dapat
bekerja sesuai dengan kemampuannya dan ini menyerupai Vocational Bureau yang
didirikan oleh Frank Parsons di Boston. Sekarang ini kantor Penempatan Tenaga
Kerja ini tumbuh menjadi Departemen Tenaga Kerja.
Dalam perkembangannya, bimbingan dan konseling di Indonesia
memiliki alur yang sama seperti halnya perkembangannya di Amerika, yaitu
bermula dari bimbingan pekerjaan (Vocational Guidance) lalu
merambah kepada bimbingan pendidikan (Education Guidance).
b. Perkembangan
Bimbingan Konseling dalam system Pendidikan di Indonesia
Di Indonesia, Pelayanan Konseling dalam system pendidikan
Indonesia mengalami beberapa perubahan nama. Pada kurikulum 1984 semula disebut
Bimbingan dan Penyuluhan (BP), kemudian pada Kurikulum 1994 berganti nama
menjadi Bimbingan dan Konseling (BK) sampai dengan sekarang.(Sarjanaku 2011).
Dengan diadakannya konferensi FKIP seluruh Indonesia yang
berlangsung di Malang sejak tanggal 20-24 Agustus 1960, telah diputuskan bahwa
Bimbingan dan Konseling dimasukkan dalam kurikulum FKIP. Hal tersebut menunjukkan
adanya langkah yang lebih maju, yaitu Bimbingan dan Konseling sebagai suatu
ilmu dikupas secara ilmiah. Dengan adanya instruksi dari pihak
pemerintah (Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan) untuk melaksakan Bimbingan
dan Konseling di sekolah-sekolah, telah membuat bimbingan dan konseling semakin
maju di lingkungan sekolah (Bimo Walgito, 2010:17).
Beberpapa tahun setelah itu, didirikanlah SMA gaya baru pada
tahun 1962. Pada jenjeng ini para siswa mulai diarahkan secara mandiri dengan
bimbingan para guru untuk menentukan kejuruan sesuai da bidang yang ia minati
dan ia bidangi. Dimulai dari sini Bimbingan Konseling membantu penjurusan di
SMA atas beberapa bidang jurusan dengan ketegasan sebagai berikut:
1. Di kelas I itu para pelajar diberi
kesempatan untuk lebih mengenal bakat dan minatnya dengan jalan menjelajahi
segala jenis mata pelajaran di sekolah dengan bantuan pembimbing, para guru dan
orang tuanya.
2. Di kelas II para siswa disalurkan ke
kelompok khusus; budaya, pasti, pengetahuan alam.
3. Untuk menunjuk hal-hal tersebut di atas
pengisian kartu pribadi siswa harus dilakukan dengan seteliti-telitinya. Sejak
saat itu guru-guru ditatar menjadi pembimbing yang baik.
Setelah dirintis dalam dekade 60-an, bimbingan dicoba
penataannya dalam dekade 70-an. Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP)
membawa harapan baru pada pelaksanaan bimbingan di sekolah karena staf
bimbingan memegang peranan penting dalam sistem sekolah pembangunan. Secara
formal bimbingan dan konseling diprogramkan di sekolah sejak diberlakukannya
kurikulum 1975 yang menyatakan bahwa bimbingan dan penyuluhan merupakan bagian
integral dalam pendidikan di sekolah. Pada tahun 1975 berdiri ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia (IPBI) di Malang. IPBI ini memberikan pengaruh terhadap
perluasan program bimbingan di sekolah.
Setelah melalui penataan, dalam dekade 80-an, bimbingan
diupayakan agar lebih mantap. Pemantapan terutama diusahakan untuk mewujudkan
layanan bimbingan yang profesional. Beberapa upaya dalam pendidikan yang
dilakukan dalam dekade ini adalah penyempurnaan kurikulum dari Kurikulum 1975
ke Kurikulum 1984. Dalam kurikulum 1984, telah dimasukkan bimbingan karier di
dalmnya. Usaha memantapkan bimbingan terus dilanjutkan dengan diberlakukannya
UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 1 Ayat 1
disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya pada
masa yang akan datang.
Penataan bimbingan terus dilanjutkan dengan dikeluarkannya
SK Menpan No. 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Dalam Pasal 3 disebutkan tugas pokok guru adalah menyusun program bimbingan,
melaksanakan program bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil
pelaksanaan bimbingan, dan tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap
peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya.
Selanjutnya, pada tahun 2001 terjadi perubahan nama
organisasi Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) menjadi Asosiasi Bimbingan
dan Konseling Indonesia (ABKIN). Pemunculan nama ini dilandasi terutama oleh
pemikiran bahwa bimbingan dan konseling harus tampil sebagai profesi yang
mendapat pengakuan dan kepercayaan publiK (jareperpus, 2011).
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Bimbingan dan
konseling memiliki andil yang besar dalam lingkungan pendidikan. Hal ini dikarenakan bimbingan dan konseling
dapat membantu peserta didik dalam pengenalan diri, pengenalan lingkungan dan
pengambilan keputusan, serta memberikan arahan terhadap perkembangannya. Dengan
demikian bimbingan dan konseling tidak lagi dapat dipandang hanya sebagai
pelayanan yang diberikan kepada peserta didik yang bermasalah, melainkan
bimbingan dan koseling berkontibusi dalam perkembangan peserta didik kearah
yang lebih baik lagi.
3.2
Saran
Dalam praktek
pendidikan hendaknya lebih mementingkan bimbingan dan konseling untuk
kedepannya. Hal ini akan memberikan hasil positif untuk mengarahkan peserta
didik menjadi lebih baik, sehingga bisa meminimalisir kemungkinan-kemungkinan
kenakalan peserta didik akan terjadi lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Kartadinata,
Sunaryo. (2011). Menguak Tabir Bimbingan
dan Konseling Sebagai Upaya Pedagogis. Bandung: UPI Press
Sukardi,
Dewa Ketut Drs. MBA. MM. dan Desak P.E. Nila Kusmwati, S.Si, M.Si. (2008). Proses Bimbingan dan Konseling di Sekolah.
Jakarta: Rineka Cipta
Syamsu,
Yusuf Dr., L.N. dan Dr. A. Juntika Nurihsan. (2009). Landasan Bimbingan dan
Konseling. Bandung: Rosda
Tohirin,
Drs. M. Pd. (2007). Bimbingan dan
konseling di sekolah dan madrasah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/11/kedudukan-bimbingan-dan-konseling-di-sekolah-90963.html (diakses tanggal 23
Februari 2015)
0 komentar:
Posting Komentar