Novel
ini merupakan novel paling “bejat” yang pernah saya baca, setidaknya saya
pernah membaca beberapa novel lain sebelumnya, dan berita bagusnya bahkan saya
membaca novel ini sampai akhir, bahkan sampai catatan dari penulisnya untuk
memastikan betapa “bejat” novel yang saya baca ini.
Sebelum
kita bergerak terlalu jauh, saya akan mengatakan bahwa antara “bejat” dan
“tidak bejat” adalah hal yang rumit dan membingungkan. Orang “bejat” mungkin tidak
menyadari bahwa dirinya sebenarnya “bejat”. Dan orang yang “tidak bejat” yang
mengatakan bahwa orang yang “bejat” itu “bejat”, sebenarnya di dalam dirinya
juga ada sebuah “kebejatan” yang tidak disadari. Ini sama membingungkannya
ketika Nuh menentukan yang “Bersih” dan “Tidak Bersih”.
Beberapa
pekan sebelum saya membaca novel ini saya pernah membaca novel lain berjudul La
Paligo, tapi saya tidak pernah menyelesaikannya, bukan karena jelek saya rasa,
tetapi yang saya takutkan adalah efek samping yang saya dapatkan setelah saya
membacanya. La Paligo adalah novel sejenis Ramayana, Mahabarata dan sejenisnya
yang menceritakan dunia para dewa dan tetek bengeknya.
Kalian
tahu apa mungkin efek samping yang akan saya dapatkan setelah membaca novel
tersebut?
Secara
ilmiah memang tidak bisa dibuktikan bagaimana kehidupan saya ditentukan dari
sebuah buku, paling tidak mungkin beberapa buku pendukung, namun dalam hal ini
novel tersebut tentu akan berpengaruh besar bagi saya terutama tentang
pandangan dan pemahaman saya tentang kehidupan ditambah lagi tentang para dewa.
Kau tahu kenapa? Hal ini karena saya lahir dari budaya jawa yang tidak jauh
dari dunia pewayangan, sebagian dari kami mungkin seorang muslim, namun pada
akhirnya kami masih percaya dan tertarik kepada dunia nonnalar, dan bukankah
masalah tentang itu memang sebagian hal-hal tersebut mengharuskan kita
mengimani tanpa harus bertanya kenapa begini dan kenapa begitu.
Baiklah,
pada akhirnya kita seharusnya membahas novel karya Julian Barnes yang “bejat” ini.
Alasan kenapa saya terus membaca sebuah novel yang dari awal saya anggap bejat
adalah saya akan mencari kesalahan tidak logis dari sebuah sangkaan yang
menidak logiskan sebuah sejarah yang telah dituliskan Tuhan dalam kitab-kitab
suci-Nya yang telah disampaikan melalui para Nabi sucinya.
Sesuai
dengan judulnya, Sejarah Dunia dalam 10,5 Bab, buku ini terdiri dari 10 lebih
sedikit bab, keganjilan dimulai dari sini. Kenapa harus 10 lebih setengah,
kenapa tidak 11, bukankah sedikit bisa juga dianggap bab,-sungguh ganjil. Namun
disini kita tidak bisa menyalahkan penulisnya sebab ini bagian dari keakuan
dari penulis sendiri.
…………………………………………………………………………………………
Bab
pertama dalam novel ini berjudul Peumpang Gelap. Dibagian awal bab kita akan
mendapat sebuah kesaksian sejarah yang pada akhirnya itu berasal dari seekor
ulat. Ulat tersebut terlibat langsung
dengan kisah bahtera Nuh, tentu kalian semua pernah membacanya di kitab Tuhan,
atau paling tidak pernah mendengar kisahnya lewat pemuka agama kalian.
Bagi
yang pernah menonton film Noah tentu dapat membayangkan bagaimana penggambaran
sejarah Bapak kedua kita itu, meski tidak sepenuhnya benar dan sesuai dengan
firman Tuhan dalam kitab-kitab-Nya pastinya. Namun dalam novel ini kita akan
dibuat bingung, bagaimana tidak. Semua pasti tahu bahwa bahtera Nuh tentu hanya
ada satu. Dalam novel ini justru bahtera Nuh sebenarnya adalah armada kecil
yang terdiri dari delapan kapal besar; kapal layar Nuh yang diikuti kapal
perbekalan, kemudian empat kapal kecil yang dinahkodai anak-anak Nuh, setelah
kapal Nuh adalah kapal “Rumah Sakit” dan kapal terakhir adalah kapal yang tidak
lebih baik dari kapal sebelumnya yang tiap malam menyebarkan bau wewangian
aneh.
Tidak sampai disitu, penulis bahkan
mengambarkan Nuh sebagai seorang bajingan histeris yang kecandun minuman keras.
Bagaimana dia memilih antara yang “Bersih” untuk menaiki bahteranya dan yang
“Tidak Bersih” untuk disapu ombak besar, juga menjadi perhatian serius dari
penulis.
Menurutnya pemilihan bagi penumpang
bahtera Nuh sungguh tidak masuk akal, bagaimana mungkin kita memilih sepasang
dari setiap hewan dan meninggalkan pasangan yang lain, mungkin mula-mula Nuh
akan menjalankan seleksi ketat katanya, namun ketika batas peringatan ombak
besar semakin dekat seleksi tak memperhatikan lagi kualitas setiap hewan, hanya
berdasar sudah ada atau belum, lagi pula bagaimana dengan hewan yang berjalan
lambat, bagaimana mungkin ia akan mencapai bahtera sama cepat dengan sang
elang, atau mungkin beberapa hewan yang tidur lama pada musim tertentu, tentu
tak tahu bagaimana jadwal keberangkatan bahtera Nuh, atau mungkin beberapa
hewan yang justru dimakan predatornya sebelum sampai di bahtera.
Mungkin bagi kita pertanyaan
semacam itu ada benarnya secara logis, tapi menimbulkan ktidaklogisan lain
sebenarnya, kalaupun Tuhan akan menceritakan secara detail tentang peristiwa
bahtera, hewan apa saja yang naik, bagaimana setiap mereka sampai bahtera tepat
waktu, bagaimana Nuh memberi makan setiap hewan di bahtera, tentu akan
membutuhkan kertas yang banyak jika ditulis oleh para asisten (sahabat) nabi
setelah Nuh yang mendapat kisah ini.
Namun penggambaran tentang Nuh yang
pemabuk didasarkan penulis pada kebun anggur yang ditanam oleh Nuh didekat
tempat ia berlabuh setelah selamat dari Banjir besar. Oia tentu kita tidak lupa
dengan burung yang telaah memberi tanda bagi Nuh dan penumpang bahtera bahwa
banjir talah usai. Sebenarnya, menurut penulis, pada waktu itu Nuh mengutus
gagak dan merpati untuk memeriksa apakah ada daratan terdekat. Versi yang kita
terima adalah bahwa gagak memiliki peran yang sangat kecil karena hanya
berputar kesana-kemari, berputar-putar tanpa jelas, karena hal itulah yang
memang dilakukan hingga hari ini, dan merpatilah yang telah membawa daun zaitun
ke bahtera, padahal sebenarnya gagaklah
yang telah menemukan pohon caitun dan membawa daunnya, sedangkan merpati justru
memakan bangkai. Sungguh sejarah yang telah diputar balikkan menurut penulis.
Kita tentu tidak dapat menemukan
bukti jelas, apakah gagak atau merpati yang berjasa dalam kasus ini, karena
lagi-lagi kitab tidak secara rinci mencatatnya dan kita tahu juga bagaimana
logisnya hal tersebut. Pada akhirnya kita hanya mengamati perilaku hewan yang
menurut kita tidak memiliki pikiran (dalam hal ini tentu penulis novel ini
tidak akan pernah setuju bahwa hewan tidak memiliki pikiran, sebab kesaksian
bahtera Nuh sendiri disampaikan oleh seekor ulat). Gagak adalah pemakan bangkai
dan sering berputar-putar saat terbang, sedangkan merpati tentu kita tahu sudah
lama dimanfaatkan untuk mengirim surat di masa yang lalu. Yang kita tahu dalam
kitab hanya dikatakan seekor burung yang telah memberi berita, tidak dijelaskan
spesies apa, dan bagaimana. Samapi di sini, apakah kalian dapat melihat
sebenarnya saya yang “bejat” atau penulis novel ini yang bejat.
………………………………………………………………………………………….
Bab kedua dari novel ini berarti
pengunjung. Pada bagian ini ada seorang Franklin Hughes, pengisi acara tv dan
juga seorang penulis yang cukup terkenal pada masanya, bidang pengetahuannya
tidak ada yang tahu, sebab ia bebas menjelajah sejarah di suatu waktu, dan
arkeolog di waktu yang lain.
Suatu ketika ia memberi ceramah
atau seminar di sebuah kapal pesiar yang ditumpangi orang-orang yang haus akan
sejarah masa silam, dalam hal ini mereka sedang menuju ke daerah-daerah di
sekitar Yunani yang menyimpan sejarah luar biasa di masa lampau.
Di bagian awal perjalanan itu,
mereka mengarungi Laut Adriatik, mereka memperoleh jamuan dan juga kuliah
pembukaan yang disampaikan Franklin secara santai. Kapal itu berlabuh
dibeberapa tempat, Aegea, Cyclades, Mykonos, Paros, dan Rhodes. Mereka akan
memenuhi perbekalan untuk melanjutkan pelayaran seperti bahan bakar,
sayur-mayur, daging, dan tak ketinggalan minuman anggur. Dan juga menaikkan
penumpang yang tidak kentara hingga hari berikutnya.
Hingga kemudian mereka sampai di
Kreta, saat itu Frankin memberikan kuliah tentang peradaban Knossos dan Minoa.
Ketika pertengahan kuliah, tiba-tiba masuklah beberapa orang berkebangsaan
Arab, yang tentu belum pernah ereka lihat sebelumnya di kuliah Franklin, dan
tentu mereka ketinggalan tentang peradaban Knossos dan Minoa.
Para pengunjung itu, terlihat ramah
meski ada beberapa yang memegang senjata, si pimpinan yang tidak membawa
senjata mengambil peran Franklin saat itu bahwa suasana tetap aman terkendali,
ia juga menjelaskan bahwa mungkin mereka akan keluar secepat mereka masuk.
Suasana tersebut tentu membuat ruangan perkuliahan Franklin dan dia sendiri
diam sediamnya. Si pemimpin keluar ruangan namun pintu di jaga dua orang yang
memegang senjata, keheningan selama setangah jam mengahantui ruangan.
Franklin kembali memulai kuliah
yang saat ini terasa ganjil, dan sesekali menatap ke arah penjaga di depan
pintu. Tak lama kemudian pemimpin Arab itu masuk ruangan lagi, ia menjelaskan
bahwa mungkin ada sedikit gangguan perjalanan,setiap orang akan dikelompokkan
berdasarkan kewarganegaraan mereka. Sehingga setiap orang harus menunjukkan
kewarganegaraanya dengan menunjukkan paspor masing-masing, ada seorang yang
tidak mampu menunjukkan kewarganegaraannya karena tidak memiliki paspor, maka
ia dimasukkan ke kelompok Amerika.
Dalam ruangan yang cukup luas itu,
mereka di kelompokkan. Kemudian Franklin dipanggil untuk menghadap ke pimpinan
Arab karena dianggap mewakili mereka semua. Ternyata kapal tersebut sedang
dibajak oleh para perompak yang meminta tiga temannya dilepaskan oleh
pemerintah. Dan sampai saat itu belum ada tanggapan serius dari pemerintah.
Setelah beberapa kali Franklin
dipanggil untuk menghadap dan belum ada tanggapan serius dari pemerintah maka
dengan terpaksa, perompak yang cukup murah hati itu mengatakan bahwa setiap jam
akan ada sepasang yang dibunuh dan dibuang laut untuk dilihat oleh kapal
pemerintah yang telah mengikuti mereka. Ya sepasang, dalam hal ini penulis menghubungkan
dengan kisah bahtera Nuh, lalu bagaimana mereka akan memilih yang “bersih” dan
yang “tidak bersih”. Mereka akan diurutkan berdasarkan keterlibatan Negara kebangsaan
mereka dalam kasus Timur Tengah. Dimulai dari Amerika, Inggris, Perancis, dan
seterusnya. Oleh sebab itu, maka Franklin harus menjelaskan di bawah pengawasan
penjaga duduk perkara yang sedang mereka alami. Dengan gaya pengisi seminar
biasa dan dengan argument yang menurutnya tidak akan menimbulkan kekacauan
dalam kapal maka Franklin menjelaskan apa yang sedang mereka alami.
Pada akhirnya korban tak bisa
dihindari, setelah ada delapan korban pemerintah berhasil menyelamatkan kapal
dari para pengunjung tak diundang tersebut.
Dalam bab ini, selain keterkaitan
antara perompakan di kapal dengan kisah bahtera Nuh dalam hal memilih antara
yang “bersih” dan yang “tidak bersih”. Tidak banyak hal yang dapat
diperbincangkan lebih lanjut.
………………………………………………………………………………………….
Bab
ketiga berjudul Perang Agama. Bab inilah penulis mengungkap kasus yang cukup
ganjil yang terjadi di sebuah pedesaan Prancis. Kasus ini ditulis sekitar paruh
pertama abad ke-16. Dari bab ini saya sedikit mengerti bagaimana proses
persidangan, terutama beberapa istilah pesidangan dalam bahasa prancis. Ada petition des habitans, plaidoyer des
habitans, plaidoyer des insectes, replique des habitans, replique des insectes.
Pertama-tama
kasus itu dibuka dengan petition des
habitans (petisi dari para penduduk). Yang menyatakan bahwa pada hari ke-12
bulan agustus 1520, para penduduk meminta mahkamah agar mengadili para jahanam
yang telah menimpakan azab dan mara bahaya dan juga telah mengganggu rumah
Tuhan. Smapai di sini tidak dijelaskan duduk perkara dan siapa dalang yang
dilaporkan ke mahkamah tersebut.
Selanjutnya
plaidoyer des habitans (pidato
pembelaan penduduk). Dalam bagian ini ada bagian bertele-tele khas para
pengacara yang menjelaskan duduk perkara kenapa para penduduk membawa kasus ini
ke pengadilan. Disinilah kenapa pengadilan ini disebut pengadilan yang ganjil.
Sebab yang dilaporkan adalah para ulat kayu yang telah membuat Uskup gereja
mereka linglung karena jatuh dari singgasananya yang telah dimakan ulat kayu.
Tidak hanya itu setelah diperiksa ternyata atap gereja juga tak luput dari ulat
kayu sialan tersebut.
Bagian selanjutnya lebih
mengejutkan, ternyata para ulat tersbut meiliki pengacara dan entah bagaimana
mereka harus membayarnya. Karena bagian selanjutnya adalah plaidoyer des insectes (pidato pembelaan serangga). Pengacara
tersebut menyampaikan beberapa persoalan, pertama, bahwa mahkamah tidak
berwenang untuk mengadili para tergugat, dalam hal ini para serangga (entah
apakah n]benar ulat kayu termasuk serangga) dan bahwa surat pemanggilan juga
tidak sah, karena tergugat tidak memiliki akal dan kehendak. Kedua,
kalaupun surat pemanggilan sah, tidaklah beralasan dan tidak sah
menyidangkan kasus jika tertuduh tidak hadir (in absentia).
Selanjutnya pengacara para serangga
mengemukakan dua argumen tambahan, pertama, kalaupun surat pengadilan sah dan
benar, apakah ada bukti bahwa surat tersebut diterima oleh para
serangga? Kedua, ada asas bahwa tergugat mungkin akan mengalami bahaya ditengah
perjalanan menuju ke persidangan. Ketiga, surat tersebut tidak dialamatkan
dengan benar, karena surat ditujukan bagi serangga di gereja Saint-Michel di
desa Mamirolle. Apakah seluruh gereja yang ada di gereja itu? Karena ada
beberapa serangga yang tidak mengganggu di sana. Keempat, bukankah serangga
tersebut memakan kayu yang memang makanannya, bukankah memang dia tidak bisa
membedakan kayu apa yang sedang mereka makan. Kelima, mahkamah tidak berhak
menghukum pengucilan terhadap jiwa yang tidak kekal. Oleh karena itu pengacara
dari serangga meminta agar kasus ini ditolak dan dibatalkan.
Selanjutnya replique des habitans (jawaban penuntut atas pembelaan terdakwa).
Pertama, pengacara penduduk mengatakan bahwa pengadil memiliki wewenang untuk
mengadili binatang. Bukankah Tuhan telah mengusir lintah darat dari Yerusalem,
dan bukankah jelas bahwa binatang diciptakan untuk tunduk kepada manusia.
Kedua, bahwa tidak ada yang membahayakan serangga untuk hadir kepersidangan
kalaupun penduduk membahayakan pastilah mereka telah membakar atap agar apar
serangga binasa. Ketiga, bahwa tidak mungkin Ulat kayu ikut dalam bahtera Nuh
karena akan menggerogoti kapal, oleh sebab itu serangga tersebut mungkin
makhluk yang tidak alami dan tidak sempurna, bahkan mungkin telah berada dalam
pengaruh Iblis sehingga merusak rumah Tuhan. Dan keempat, mahkamah berhak
melakukan pengucilan terhadap dzat yang tidak kekal bukankah, Yesus Kristus
Sang Anak Tuhan bersabda bahwa pohon yang buahnya tidak bagus harus ditebang
dan dibakar.
Selanjutnya
pengacara serangga melakukan pembelaan lagi terhadap tuduhan dari pengacara
penduduk. Pertama, bahwa tergugat seharusnya adalah generasi pertama dari
serangga yang mulai melakukan penggerogotan singgasana Uskup dan atap gereja.
Kedua, bahwa ulat kayu tidak secara khusus dijelaskan dalam kitab Tuhan tidak
ikut dalam bahtera Nuh, jadi kita tidak dapat menyimpulkan bahwa serangga
tersebut tidak naik bahtera. Jika serangga itu benar tidak naik behtera,
bukankah banjir besar itu untuk membersihkan dunia dan melahirkan dunia baru,
dan manusia berhak atas seluruh binatang, tapi apakah dijelaskan manusia juga
berkuasa atas hewan yang tidak naik bahtera. ketiga, bukankah mungkin serangga
itu dikirim Tuhan untuk mengingatkan kesalahan kita yang mungkin tidak kita
sadari, sebagaimana umat dahulu diazab melalui hewan yang dikirim Tuhan. Keempat, pengacara memohon agar kasus
tersebut dibatalkan, dan serangga dinyatakan tidak bersalah tanpa syarat, dan
mereka harus pindah ke lahan lain agar hidup damai.
Selanjutnya ada kesimpulan dari
jaksa umum, yang mengatakan bahwa apa yang telah disampaikan oleh pembela dari
kedua belah pihak telah disampaikan secara mantap dan penuh kesungguhan.
Tanggapan atas generasi ulat kayu yang dipanggil kenapa tidak generasi pertama
saja, adalah firman Tuhan dalam Kitab Keluaran bahwasanya kesalahan bapak
dibalaskan tuhan kepada anak cucunya hingga keturunan ketiga dan keempat. Jadi
mahkamah berhak atas hal ini. Namun jaksa juga tidak bisa menerima pendapat
bahwa ulat kayu telah dirasuki Iblis sebab ulat kayu masih hidup dalam
kenormalan mereka sebagai seekor serangga.
Para jaksa setuju bahwa ulat kayu
tidak naik bahtera, namun untuk mengklasifikasikan apakah mereka makhluk alami,
atau buatan Iblis mereka perlu teolog terkemuka untuk menjawabnya. Dan juga
tidak ada alasan pula kenapa Tuhan mengirim serangga ke sana, mungkin para
penduduk kurang sedekah atau apa.
Bagian terakhir dari bab ini adalah
keputusan para hakim yang memutuskan bahwa ulat kayu harus pindah ke lahan yang
telah disediakan penduduk, para penduduk harus menahan diri dari perbuatan yang
menyimpang dalam Rumah Tuhan.
Pengadilan terhadap ulat kayu
adalah pengadilan yang cukup aneh, namun dengan keputusan yang telah ditetapkan
setidaknya tidak merugikan pihak manapun. Meskipun sebenarnya saya penasaran
dengan Uskup yang linglung kenapa hingga akhir persidangan dia tidak hadir,
mungkinkah dia masih linglung atau sedang meratap ke atap gereja, membayangkan
berapa biaya yang harus ia keluarkan untuk memperbaiki semuanya, itu kedengaran
lucu.
………………………………………………………………………………………….
Pada
bab tiga, dalam buku ini adalah kisah seorang wanita yang mengalami masalah
dengan suaminya. Kehidupan yang penuh masalah itu membuat ia minggat dan
berpetualang untukmenemukan “dunia baru” bersama kucing kesayangannya. Ia pergi
menaiki perahu suaminya secara diam-diam.
Selama
perjalanan gelapnya, ia mengalami mimpi buruk. Mimpi buruk dimana ia melawan ia
yang lain. Dalam mimpinya ia bergejolak dengan masalah yang sebenarnya ingin ia
hindari selama ini. Pada akhirnya ia menyadari bahwa semua masalah.
………………………………………………………………………………………….
Pada bab-bab selanjutnya berjudul;
kapal karam, gunung, tiga cerita sederhana, ke hulu, parentis, proyek ararat,
mimpi. Oia parentis adalah setengah bab yang dimaksud dalam novel ini.
Kapal karam, merupakan bab yang
menceritakan sebuah tragedi kemanusiaan tentang betapa kita sering mementingkan
diri sendiri. Dalam kisah ini, sebuah kapal yang sedang pelayaran tiba-tiba
terdampar di laut dangkal, namun masih jauh dari daratan. Kapten kapal,
kemudian mengumpulkan seluruh penumpang dan para ABK untuk pembagian siapa yang
akan naik kapal skoci dan siapa yang akan naik rakit.
Setelah pembagian selesai, ternyata
setiap orang mementingkan kepentingan dan keselamatan masing-masing sehingga
mereka berebut naik skoci, hingga akhirnya ratusan penumpang yang kurang
beruntung harus berdesakkan menaiki rakit. Tidak sampai di situ, ternyata
perjuangan para manusia rakit yang harus terkatung-katung di lautan baru saja
dimulai. Ketika perbekalan yang dibawa mulai menipis dan para penumpang rakit
makin kelaparan, maka pembunuhan antar penumpang tak terelakkan lagi. Hingga
akhirnya hanya 15 orang yang selamat dalam perjalanan rakit tersebut.
Bab berikutnya yang berhubungan
dalam novel ini adalah bab yang berjudul gunung dan proyek Ararat. Pada bab
gunung diceritakan dua orang perempuan yang melakukan perjalanan suci ke puncak
Ararat. Salah seorang dari perempuan itu bermaksud mendo’akan ayahnya yang ia
rasa cukup jauh dari Tuhan sehingga menurutnya ia perlu meminta ampun
kepada-Nya. Sedang perempuan satunya, hanyalah pelayan perempuan pertama.
Perjalanan suci ini melewati sebuah
desa Aghuri, desa terakhir dari puncak Ararat. Di desa ini ada sebuah gereja
tua dan juga perkebunan anggur warisan Nuh, yang merupakan tanaman pertama
setelah adanya banjir besar.
Sedangkan proyek Ararat merupakan
perjalanan yang dilakukan oleh seorang mantan astronot yang mendengar panggilan
suci untuk menemukan bahtera Nuh ketikasedang menjalani proyek di bulan. Hal
inilah yang membuat dia bertekat bulat untuk menjawab panggilan Tuhan.
Sampai
sini saya merasa bahwa tulisan ini bukan lagi catatan (tak pantas disebut kritikan
saya rasa) mengenai novel karya Julian Barnes ini. Oleh sebab itu saya rasa
untuk mengetahui lebih lanjut kebejatan yang sebenarnya lebih banyak lagi dalam
buku ini, dan mungkin kalian akan merasakan bahwa ternyata sejarah yang selama
ini palajari akan runtuh atau setidaknya akan tergoyang oleh pertanyaan dan
pernyataan penulis novel ini.
Tanpa mengurangi sedikitpun pendapat
saya tentang betapa bejatnya novel ini, ternyata uraian singkat yang saya tulis
ini dengan tepat memiliki panjang 10,5 halaman, meskipun bisa juga
disebut 11 halaman toh kayaknya lebih pantas disebut 10,5. Mungkin inilah
keakuan penulis dalam setiap karyanya.
0 komentar:
Posting Komentar